HNW: Perkawinan Beda Agama Tidak Sejalan dengan Konstitusi
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid dukung Majelis Ulama Indoensia (MUI) yang meminta Pengadilan Negeri Surabaya membatalkan pernikahan beda agama.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mendukung sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang meminta agar penetapan Pengadilan Negeri Surabaya yang mengizinkan perkawinan beda agama dibatalkan, karena perkawinan jenis tersebut sejatinya tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945).
“Perkawinan beda agama jelas tidak sejalan dengan konstitusi yang berlaku di Indonesia. Itu mudah dibaca pada Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (23/6).
Ketentuan Pasal 28B ayat (1) UUD NRI 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”
Sedangkan, soal apa itu perkawinan yang “sah”, sudah jelas dinyatakan pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum agama kedua pasangan. Sementara Agama Islam mengatur tidak sahnya perkawinan beda Agama.
HNW sapaan akrabnya menambahkan ketentuan Pasal 28J ayat (2) juga mengatur bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia tidaklah liberal, tetapi mengakui adanya pembatasan praktek hak asasi manusia dalam rangka menghormati HAM pihak yang lain, termasuk dalam hak untuk menikah, yang salah satunya mempertimbangkan nilai-nilai agama.
“Ini antara lain yang jadi rujukan di dalam UUD NRI 1945 bahwa perkawinan beda agama tidak diakui termasuk dalam praktek HAM di Indonesia,” tukas Anggota Komisi VIII DPR RI yang salah satunya membidangi urusan keagamaan ini.
Lebih lanjut, HNW mengatakan Mahkamah Konstitusi yang berwenang menafsirkan dan menjaga konstitusi juga telah berulangkali memutus perkara judicial review terkait perkawinan beda agama.
“Dan MK juga telah menolak permohonan-permohonan agar perkawinan beda agama dinyatakan sah, karena UU Perkawinan yang berlaku saat ini, yang mengatur tidak sahnya perkawinan beda agama, dinyatakan sah dan konstitusional,” ujarnya.
HNW menyayangkan sikap hakim tunggal di PN Surabaya yang mengesampingkan aturan-aturan dasar tersebut dengan mengizinkan perkawinan beda agama. Dalam penetapannya, hakim di PN Surabaya menggunakan Pasal 35A UU Administrasi dan Kependudukan (UU Adminduk).
Pasal 35A berbunyi, “Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan.” Sedangkan Penjelasan Pasal 35A UU Adminduk menyatakan “Yang dimaksud dengan ‘perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan’ adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.”
HNW mengatakan bahwa meski maksud ketentuan itu untuk pencatatan perkawinan, tentunya bukan pencatatan perkawinan beda agama yang melibatkan calon mempelai yang beragama Islam, karena Islam mengatur hal pelarangan itu dengan ketat.
Sayangnya ketentuan itu justru digunakan oleh pengadilan untuk mengizinkan perkawinan beda agama termasuk yang beragama Islam.
Ia menegaskan bahwa sejak pembahasan di DPR, ketentuan ini telah ditolak oleh sejumlah kalangan termasuk oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), karena dinilai sebagai bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan UU Perkawinan yang berlaku.
“Namun, sayangnya ketentuan itu masih lolos ke dalam UU Adminduk. Oleh karenanya sebaiknya DPR dan Pemerintah segera merevisi kembali ketentuan tersebut sehingga tidak bertabrakan dengan UU Perkawinan dan UUD NRI 1945. Atau agar MA membatalkan penetapan pengadilan yang bertentangan dengan UU dan UUD itu,” tukasnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahera (PKS) ini juga mengomentari pandangan sebagian kalangan yang membandingkan lebih baik diizinkan perkawinan beda agama daripada mereka melakukan kumpul kebo.
“Ini juga logika yang tidak tepat, karena kedua hal itu sama-sama tidak sesuai dengan nilai Pancasila dan UUDNRI 1945. Apalagi sikap DPR dan Pemerintah pun juga sudah tegas, akan melarang perilaku kumpul kebo sebagaimana dalam Pasal 418 ayat (1) Rancangan KUHP. Karenanya, agar masalah ini tidak makin banyak menimbulkan korban yang berjatuhan, dan keresahan masyarakat tak makin meluas, ketentuan pelarangan itu harusnya segera dibahas dan disahkan oleh DPR dan Pemerintah,” pungkasnya.