Ahmad Basarah Tolak Pembubaran Gontor dan Dukung Proses Hukum
Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah dengan tegas menolak pembubaran pondok pesantren Gontor terkait kasus tewasnya seorang santri karena kekerasan.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Setelah lebih dari sepekan pemberitaan tentang tewasnya santri Gontor merebak di media massa, Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah dengan tegas menolak pembubaran pondok pesantren ini.
Penolakan itu disampaikan anggota Komisi X DPR RI yang antara lain membidangi pendidikan ini setelah muncul suara-suara di media massa dan media sosial agar Gontor dibubarkan atau izin operasionalnya dicabut.
"Kekerasan pada santri yang berujung pada kematian tentu sangat kita sayangkan. Tapi, mengusulkan agar Gontor sebagai institusi pendidikan Islam berbasis asrama dibubarkan atau izin operasionalnya dicabut, hemat saya itu pikiran terburu-buru. Apakah jika di Akademi Kepolisian, Akademi Militer, atau asrama lain terjadi kekerasan fisik lalu semua institusi pendidikan itu dibubarkan atau izin operasionalnya dicabut?" tegas Ahmad Basarah di Jakarta, Rabu (14/9/2022).
Selama sepekan media massa ramai memberitakan tragedi AM (17 tahun), santri Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, yang tewas akibat dianiaya santri senior.
Santri asal Palembang ini bersama dua rekannya dihukum senior mereka akibat tidak bisa mengembalikan peralatan perkemahan. Seorang senior memukul paha mereka dengan tongkat pramuka, tapi seorang senior lain menendang dada AM hingga jatuh terjungkal kemudian kejang pada 22 Agustus 2022 pukul 06:00 waktu setempat. Setengah jam kemudian AM tewas. Setelah jenazah AM diautopsi, pihak keluarga membawa kasus ini ke ranah hukum.
Atas kronologi yang ada, Ahmad Basarah mengajak semua pihak cooling down dan proporsional melihat kasus yang terjadi. Ketua Fraksi PDI Perjuangan ini meyakini bahwa kasus kematian ini terjadi hanya akibat emosi para santri yang berdarah muda, bukan atas instruksi para guru dan pimpinan Gontor. Kasus kekerasan sesama pelajar tidak hanya terjadi di Gontor, tapi juga banyak terjadi di asrama dan sekolah lainnya.
Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang itu menyebut tiga alasan mengapa pemerintah dan masyarakat Indonesia hendaknya berpikiran positif dan bertekad terus menjaga keberadaan Gontor di tengah masyarakat Indonesia.
Pertama, Gontor adalah pesantren modern yang mendidik dan mengajarkan pikiran-pikiran terbuka kepada para santrinya lewat materi ajar yang ada, misalnya kitab 'Bidayatul Mujtahid' karangan Ibnu Rusyd dan kitab 'Al-Adyan'.
"Kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd ini tidak hanya mengajarkan satu mazhab, tapi semua mazhab. Itu artinya sejak remaja, calon alumni Gontor dibiasakan dengan perbedaan pendapat, keterbukaan pikiran, tidak fanatik pada satu mazhab, dan sikap toleransi. Dengan kitab Al-Adyan, Gontor mengajarkan agama-agama yang ada di tanah air pada para santrinya. Ini cocok sekali dengan falsafah Pancasila dan kondisi kebangsaan kita yang bhineka tunggal ika," jelas Ketua Fraksi PDI Perjuangan itu.
Alasan kedua, Gontor selama ini telah melahirkan banyak tokoh moderat yang pro politik kebangsaan, misalnya KH Hasyim Muzadi, Prof. Nurcholish Madjid, dan lain-lain.
"Saya tidak yakin jika budaya kekerasan dilakukan sistematis oleh pimpinan Gontor akan lahir tokoh-tokoh besar dan moderat seperti mereka," tandas Sekretaris Dewan Penasehat PP Baitul Muslimin Indonesia itu.
Alasan ketiga, Ahmad Basarah memberi apresiasi yang tinggi pada empat motto Gontor yakni berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas.
Motto ini banyak diulas dalam karya akademis mulai dari skripsi sampai disertasi. Jika banyak sekolah dan institusi pendidikan di Indonesia meniru motto Gontor, hasilnya akan positif.
"Lewat motto itu Gontor mengarahkan para santrinya untuk bersikap rasional tapi berakhlak mulia. Ini kita butuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Jika banyak warga Indonesia hanya berpikiran bebas saja tapi tidak berpengetahuan luas apalagi tidak berbudi tinggi, mereka tidak mudah diajak berbangsa dan bernegara secara sehat dan rasional, malah jadi beban negara," tandas Ketua DPP PDI Perjuangan itu
Karena itu, Doktor Bidang Hukum lulusan Universitas Diponegoro Semarang ini tidak keberatan proses kematian santri Gontor dibawa ke meja pengadilan sebab hanya di sana sajalah semua bukti dan dugaan bisa diperdebatkan secara rasional.
"Gontor terbiasa mengajarkan para santrinya berpikiran rasional dan terbuka. Karena itu saya yakin, para pimpinan dan alumninya percaya bahwa lembaga pengadilan adalah pilihan paling rasional untuk membuktikan, apakah Gontor sebagai institusi telah bersalah, atau kasus kematian ini hanyalah akibat keteledoran anak muda saja," tutup Ahmad Basarah.