Jakob Oetama Sebut Dua Tantangan Kompas
Dalam Monthly Disscussion blogger Kompasiana, di Hotel Santika Jakarta, Sabtu (27/3/2010), pendiri Kompas Jakob Oetama mengungkap dua tantangan.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, Jakarta - Dalam Monthly Disscussion (modis) blogger Kompasiana, di Hotel Santika Jakarta, Sabtu (27/3/2010), pendiri Kompas Jakob Oetama mengungkap dua tantangan Media Kompas kedepan.
Di era Global Village seperti sekarang ini, Jakob merasakan perubahan dengan hadirnya teknologi baru dalam bidang Teknologi Informatika sebagi tantangan.
Pendiri Kompas ini menyadari fenomena baru ini sifatnya lebih serentak dan interaktif. "Dimanapun peristiwa itu dapat serentak diketahui oleh publik dan mengundang interaksi," jelas Jakob yang mendasarinya dari buku yang ditulis Thomas, wartawan New York Times, The World is Flat.
Implikasi perkembangan ini disadarinya sebagai bangkitnya kesadaran global citizen. Akibatnya saling peduli. Jakob meyadari akibat ini membawa negara miskin maupun maju saling menyaksikan, saling melihat apa perubahan yang akan terjadi, sedang terjadi.
Menurut Jakob akibat yang harus dilakukan dari perubahan tersebut tidak secara instan dikerjakan oleh warga dunia. "Ini masalah besar yang kita hadapi," jelasnya.
"Tentu, saya sering bertanya, apakah kompas sebagai media cetak masih punya hak hidup," refleksi Jakob. Kalau masih punya sampai kapan. Awalnya, bagi Pendiri kompas ini secara jujur menjawab, masih dan harus masih.
Menurut Jakob,"kalau sekedar menonton media televisi, elektronik, apakah budaya, peradaban bisa dibangun." Apalagi dengan hadirnya kompasiner, melalui kompasiana yang menghadirkan huruf, tulisan dalam dunia maya. "Saya bertanya media cetak, buku itu masihkah relevan," tanya Jakob.
Menurut pendiri Kompas ini, media cetak huruf, paling tidak tetap diperlukan. "Nggak mungkin hanya gambar," ungkapnya.
Gambar bagi Jakob hanya menimbulkan emosi. Sedangkan Cetak memberikan ruang waktu untuk berefleksi dan befikir secara kritis.
Kontroversi dan ketidakpastian ini menurut pengamatan Jakob masih tetap berlaku. Di Eropa Utara, ia mencotohkan media cetak huruf masih tetap dasyat pengaruhnya. Biarpun di negara lain, di Asia misalnya sudah mulai berkurang.
Fenomena cetak versus elektronik menurutnya satu ketidakpastian. Namun Jakob dalam pemaparannya tetap masih yakin peran media cetak tulis masih tetap. Karena dengan membaca kita menjadi membuka diri. "Membaca itu kok lebih kuat peranannya," tegas Jakob yakin.