Menteri Tifatul Klaim Blokir 300 Situs Radikal
Tifatul Sembiring, mengaku sudah menerima permintaan blokir 900 situs radikal dari masyarakat, dan sudah menindaklanjuti 300 diantaranya.
Editor: Ade Mayasanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com Samuel Febriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelaku bom Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunten, Solo, diduga sempat mengakses situs radikal guna memotivasi dirinya sebelum melancarkan aksinya. Oleh karenya masyarakat pun meminta kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika, untuk membelokir situs-situs radikal, guna memberantas penyebaran faham radikal.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring, mengaku sudah menerima permintaan blokir 900 situs radikal dari masyarakat, dan sudah menindaklanjuti 300 diantaranya.
"Dari 900 masukan di tahun 2011, sudah kita blokir 300. Yang lainnya terkategori bukan radikal," kata Menkominfo, Tifatul Sembiring di sela-sela acara diskusi publik tentang keterbukaan informasi publik, di Hotel Lumire, Jakarta, Kamis (29/9/2011).
Minimnya jumlah situs radikal yang diblokir oleh Pemerintah, menurutnya, dikarenakan tidak mudah menilai suatu situs tersebut radikal atau tidak.
Ia menjelaskan, selama ini pihaknya menggunakan perangkat hukum UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE, untuk menentukan apakah sebuah situs memenuhi kriteria untuk dilakukan pemblokiran.
"Melanggar UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE. Tidak boleh misalnya penghinaan atas nama SARA, menghasut kebencian atas dasar perbedaan, perjudian, atau sesuatu yang mengancam. Bukan orang ngomongnya kenceng sedikit itu dibilang radikal, itu beda pemikiran aja," katanya.
Sebelumnya, beberapa anggota masyarakat meminta Pemerintah melakukan pemblokiran terhadap situs-situs yang memuat isi berunsur radikal.
Salah satunya Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj.
Ia mendesak Menkominfo menutup situs yang menyebarkan paham radikalisme, yang semakin marak di internet. "Menkominfo jangan hanya bisa memblokir situs porno," kata Said di Gedung PBNU, Jakarta, (27/9/2011).