Keberadaan Freeport Memang Tak Diterima Rakyat Papua
Krisis Papua dengan sebagian latar belakangnya adalah tambang emas, perak dan tembaga di eksploitasi Freeport
Penulis: Rachmat Hidayat
Editor: Prawira
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Krisis Papua dengan sebagian latar belakangnya adalah tambang emas, perak dan tembaga di eksploitasi Freeport yang mengingatkan krisis sebelumnya di Timor-timur dan NAD. Timor-timur yang setelah berdaulat sendiri menjadi Timor Leste, krisisnya diawali dengan isu HAM. Dari isu ini negara-negara di Uni Eropa menekan PBB dan Australia memanfaatkannya.
Pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy mengungkap, di balik isu ini tak lain soal perebutan sumber daya energi dan mineral. Australia tergiur dengan sumberdaya itu. Demikian juga dengan Aceh. Isu besarnya adalah tidak adilnya pemerintah pusat terhadap Aceh sementara sumber daya alam Aceh dieksploitasi perusahaan-perusahaan asing, antara lain Exxon, atas konsesi Pemerintah Pusat.
"Hal yang sama terjadi pula dengan pengerukan sumberdaya emas di Timika oleh Freeport McMoran. Jika Timor-timur menjadi berdaulat sendiri karena referendum berdasarkan tekanan negara-negara barat dan Australia, maka kasus Aceh selain diselesaikan dengan perjanjian perdamaian, juga diwujudkan UU Otsus. Papua pun memperoleh hal yang sama," ungkapnya, Selasa (01/11/2011).
Bagaimana hasil Otsus itu? Untuk Aceh, lanjut Noorsy, dengan kondisi sekarang, maka sebagian orang Aceh menggagas, lebih Aceh dipecah menjadi dua atau tiga provinsi. Gagas ini menunjukkan, ketidak adilan tetap berlangsung. Sedangkan untuk Papua, selain sudah dipecah menjadi dua provinsi, ternyata melahirkan konflik.
"Selain konflik antar suku yang terus berkepanjangan, hubungan Freeport dengan sekitarnya, manajemen Freeport dengan pekerja, dan Freeport dengan masyarakat Indonesia menunjukkan keberadaan Freeport tidak diterima," Noorsy mengingatkan.
Seperti kebanyakan MNC asal Amerika yang beroperasi di berbagai negara, Freeport bukan saja berhasil menggagahi alam Papua yang kaya dengan mineral sangat mahal, juga sukses membangun kerjasama dengan politisi, birokrat bahkan dengan polisi.
Hampir setiap konflik perusahaan dengan masyarakat sekitar dan dengan pekerja, polisi bertindak membela Freeport.
"Kenapa, karena menurut laporan keuangan Freeport McMoran, Freeport Indonesia "membayar" kepolisian yang bertugas di kawasan tambang sebanyak USD8jt utk tahun 2008, menjadi USD10jt dan USD14jt masing-masing untuk tahun 2009 dan 2010," tuturnya.
Sisi lain, Freeport hanya membagi royalti 3,5% untuk tembaga dan 1% untuk emas dan perak. Lalu bagaimana dengan royalti atau bagi hasil atas bongkahan tanah bebatuan yang mengandung uranium yang mereka bawa ke luar Timika ?
"Belajar dari sejarah politik Indonesia, saya nyaris yakin bahwa konflik-konflik yang muncul sejak kksi Militer I hingga hari ini sebenarnya membuktikan kuatnya keterlibatan asing dalam konflik itu. Terlalu banyak buku-buku yg diterbitkan oleh kaum akademisi AS sendiri yang bicara tentang keterlibatan AS atas hal ini." ungkap Noorsy.
Bahkan, saat Obama datang ke Indonesia pada 10 November 2010, bagi saya hal itu merupakan penegasan bahwa dominasi AS di Indonesia akan terus berlanjut. Sementara konflik di kawasan Indonesia timur sendiri saya lihat sebagai bukti campur tangan Barat demikian kentalnya. Apakah "Jakarta" tidak tahu ? Justru sebagian petinggi di Jakarta mengetahui hal itu untuk kepentingan diri dan kelompoknya," tegasnya. (tribunnews/yat)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.