Noorsy: Kasus Freeport Sinyal Untuk 'Jakarta'
Adakah kepentingan asing dibalik kasus PT Freeport?
Penulis: Rachmat Hidayat
Editor: Prawira
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Adakah kepentingan asing dibalik kasus PT Freeport? Pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy menyatakan, salah satu majalah yang dilarang beredar di Singapura mengungkap, di Indonesia banyak pihak bersedia menjadi great betrayal. Situasi ini mengingatkannya pada cerita Malari, Islam Jama'ah, konflik Tanjung Priok, dan reformasi 1998.
"Saya menyesal kalau banyak kalangan cerdas cendikia Indonesia begitu polos melihat konflik-konflik itu seakan bebas dari campur tangan asing. Soeharto sendiri berkuasa atas restu dan dukungan Amerika. Guna memperoleh restu dan dukungan inilah, tambangan emas Timika diserahkan sebagai hadiah kepada Freeport. Ini ditulis dengan baik oleh David Ransom maupun Bradley R Simpson," tuturnya, Selasa (01/11/2011).
Selanjutnya, menurut Noorsy, Indonesia membebaskan investasi asing dari Amerika yang peraturannya (UU No.1/1967) sangat kental dipengaruhi Washington. Di era sekarang, hal itu dapat terlihat pada UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal. Terhadap investasi MNC dari Amerika, Indonesia yang diwakili oleh Wapres Boediono pada 13 April 2010 di Washington menandatangani jaminan investasi itu.
"Saya ingin mengatakan, mencium bau menyengat, hasil Pemilu 2009 melemahkan Indonesia. Penciuman ini dituang dalam sebuah wawancara saya dengan sebuah media komunitas. Dalam wawancara itu saya menyebutkan, konflik Palu, Poso, Ambon dan Papua adalah bukti Indonesia lagi-lagi diintervensi di tengah intervensi di Jakarta sudah berjalan secara sistemik struktural," paparnya.
Sayangnya, lanjut Noorsy lagi, karena begitu banyak sosok teknokrat, birokrat, politisi dan aparat bersenjata yang berkiblat ke Amerika, maka diskusi tertutup dirinya dengan mereka tidak berhasil mengubah kesadaran agar menjadi sosok petinggi atau pejabat yang setia pada sumpah konstitusi dan cinta mendalam pada anak bangsa yang harkat martabatnya runtuh disebabkan kesalahan memilih dan menerapkan kebijakan.
"Bagi saya, kasus Freeport adalah sinyal bagi Jakarta, bahwa Jakarta diminta untuk tidak berpindah ke lain hati, misalnya mengikuti strategi dan gerakan ekonomi BRICS (Brazil, Rusia, India, China, South Africa). Dalam konteks perang ekonomi seperti sekarang, Wall Street Journal pada 26 Ojkt lalu bahkan menurunkan sebuah berita yang isinya dengan menolak dan mencegah berlakunya sistem ekonomi yang digagas dan diterapkan RRC," Noorsy memaparkan.
"Perspektif di atas mengingatkan saya saat Amerika memerangi kepemimpinan Sadam Husein dan membuahkan berantakannya Irak. Atau saat Amerika memerangi Taliban atau Al Qaeda di Afganistan dan Pakistan. Di Irak, Amerika mendapat sumber minyak. Di Pakistan dan Afgan, AS menguasai Selat Kaspia yang diyakini memiliki cadangan enerji fosil setara dengan cadangan enerji fosilnya Saudi Arabia," katanya lagi.
Jika menggunakan konstruksi berpikir seperti itu, maka dokumen-dokumen yang diterbitkan lembaga pemerintahan Amerika tentang strateginya sendiri dalam melanjutkan dominasi, menurut Noorsy bisa dipahami dalam dua perspektif. Terhadap gerakan perlawanan yang tidak disukai, akan menyebut teroris. Tetapi terhadap gerakan seperti OPM, walaupun OPM mengakui tindakannya sebagai teror guna mencapai kedaulatan, maka AS tidak akan memberi stempel teror.
"Apa makna kedaulatan menyeluruh bagi Indonesia ? Apa makna terbebas dari penjajahan dengan segala bentuknya? Selama para pemimpin negeri ini salah, gagal atau menyimpangkan kekuasaan dan kedaulatan bangsa, kasus-kasus Tim-Tim, NAD dan Papua akan terus berlangsung hingga NKRI pecah sesuai dengan skenario mereka," Noorsy mengingatkan. (tribunnews/yat)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.