Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

KOPTI Nyatakan Pemerintah Kurang Serius Tangani Kedelai

Mogok produksi para perajin tempe dan tahu se-Jabodetabek dari Rabu, (25/7/2012) hingga Jumat, (27/5/2012)

zoom-in KOPTI Nyatakan Pemerintah Kurang Serius Tangani Kedelai
TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
Seorang pekerja menggoreng tempe yang diberi adonan tepung terigu di kawasan sentra pedagang oleh-oleh makanan khas Bandung di Jalan Soekarno Hatta, Kota Bandung, Rabu (25/7/2012). Tempe yang dianggap sebagai makanan masyarakat kelas bawah, saat ini menjadi makanan mewah karena menggunakan bahan baku kacang kedelai impor dari Amerika Serikat. Ditambah harga kacang tersebut setiap harinya terus naik. Dalam sehari pedagang di tempat ini sedikitnya bisa menjual 40 kg tempe goreng dengan harga Rp 26.000 per kg. TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN 

Laporan Agus Nia

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mogok produksi para perajin tempe dan tahu se-Jabodetabek dari Rabu, (25/7/2012) hingga Jumat, (27/5/2012) dimaksudkan agar pemerintah menurunkan bea masuk impor kedelai untuk sementara waktu. Koordinator Koperasi Perajin Tempe Tahu Indonesia (KOPTI) Jakarta Selatan, Sutaryo, menghendaki bea masuk impor diturunkan dari 5% menjadi 0%.

Sutaryo mengatakan penghapusan bea masuk impor merupakan obat sementara dari tingginya harga kedelai saat ini. Walau begitu, dirinya tak menampik kemungkinan direalisasikannya putusan itu tidak akan menghentikan fluktuasi harga kedelai.

Menurutnya, Pemerintah kurang serius menggodok masalah kemungkinan gagal panen yang terjadi di negara-negara pengekspor khususnya Amerika.

"Indonesia bisa swasembada kedelai bila pemerintah serius dalam mengembangkan produksi lokal," kata Sutaryo.

Menurut Sutaryo, wilayah Indonesia yang cocok untuk lahan kedelai adalah Jawa Timur, NTT, dan NTB.

Di sisi lain, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Gunaryo, menyatakan pemerintah sudah serius dalam menangani perihal kedelai.

Berita Rekomendasi

"Kami sudah berupaya dari puluhan tahun yang lalu untuk swasembada kedelai. Namun, tanaman yang biasa ditanam di daerah subtropis itu tentu akan bersaing tingkat produktivitasnya dengan Indonesia sebagai negara tropis," kata Gunaryo saat dihubungi Tribunnews pada Rabu, (25/7/2012), malam.

Menurutnya, penanaman kedelai di Indonesia lahannya masih berebut dengan lahan untuk menanam jagung. Bila jagung menguntungkan, petani tidak menanam kedelai.

Selain itu, kedelai biasanya ditanam pada panen ketiga. Panen pertama dan kedua untuk padi dan yang ketiga baru untuk kedelai. Hal tersebut yang menyebabkan impor kedelai masih dibutuhkan. "Apalagi negara kita berebut kedelai dengan Cina," kata Gunaryo.

Menurut Sutaryo, pemberian insentif kepada petani dalam bentuk
pemberian benih dan lahan yang cocok dapat membuat HPP lokal bersaing
dengan produk impor. "Kalau diluar saja baru panen 4,5 bulan, di
Indonesia bisa 3 bulan sudah panen," kata Sutaryo.

Namun, Gunaryo mengatakan pemberian subsidi perlu dipikirkan dengan matang karena subsidi berasal dari APBN. "Pemberian subsidi tidak sedikit," kata Gunaryo.

Gunaryo menambahkan dalam jangka pendek ini, pihaknya berupaya mengambil langkah untuk menurunkan bea masuk impor hingga 0% dan mendorong KOPTI untuk bekerja sama dengan Bulog untuk mengkoordinir anggotanya dalam penyaluran kedelai.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas