Soeharto Modifikasi Ajaran Soekarno Demi Kekuasaan
Ada anggapan bahwa rezim orde baru adalah rezim yang berbeda dengan orde lama. Anggapan itu keliru. Kedua rezim ternyata saling berkaitan dan
Penulis: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ada anggapan bahwa rezim orde baru adalah rezim yang berbeda dengan orde lama. Anggapan itu keliru. Kedua rezim ternyata saling berkaitan dan banyak kebijakan yang sering kali serupa, dan hanya dimodifikasi sesuai kepentingan politik Soeharto.
Hal itu dikemukakan Roy BB Janis dalam bedah bukunya "Soeharto Murid (Penerus Ajaran Politik) Soekarno" di ruang wartawan DPR RI, Jakarta, Selasa (23/10/2012). Hadir sebagai pembahas pendiri Institute Presiden Indonesia (IPI) Christianto Wibisono, Pengamat politik Syamsuddin Haris dan Ketua Fraksi Gerindra MPR Martin Hutabarat.
Dalam diskusi ini juga dihadiri para mantan anggota DPR RI seperti Noviantika Nasution, Didi Supriyanto, dan Faturahman, juga hadir mantan Dubes Selandia Baru, Amris Hasan.
Roy BB Janis menceritakan perbandingan kepemimpinan Soekarno dan Soeharto. Intinya Soeharto banyak mengambil ajaran-ajaran Bung Karno, dan memodifikasi untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan Soeharto yang sering disebut zaman Orde Baru. Padahal di masa Soeharto itu sebenarnya tidak ada yang baru.
"Buku ini hanya cermin saja bahwa apa yang dilakukan Soeharto sebenarnya hanya modifikasi apa yang pernah dilakukan oleh Soekarno," kata Roy.
Mengenai kepemimpinan nasional mendatang apakah sistem politik dan pemerintahan yang perlu diperbaiki atau figur yang kuat, dipercaya dan memiliki kemampuan memimpin dengan baik, maka faktor figur sangat menentukan.
"Bagaimanapun sistem apakah presidensial atau semi parlementer seperti sekarang, jika figur presiden sangat kredibel dan memiliki kemampuan, tidak akan menjadi halangan," kata Roy, mantan Ketua Fraksi PDIP DPR yang kini Ketua Pelaksana Harian Pimpinan Kolektif Nasional Partai Demokrasi Pembaruan (PDP).
Syamsuddin Haris yang juga memberi pengantar buku Roy ini mengatakan, ada perbedaan esensial Soeharto dan Soekarno, meskipun keduanya memiliki kemampuan memimpin luar biasa.
"Soekarno sangat nasionalis, menjunjung kemandirian, dan anti-liberalisme. Sebaliknya, Soeharto malah sangat akrab dengan liberalisme dengan membuka seluas-luasnya investasi asing, sehingga banyak aset negara berupa sumber daya alam yang hingga kini dikuasai asing," katanya.
Syamsuddin menginginkan presiden mendatang adalah kepala negara yang benar-benar presidensial dalam arti sang presiden mampu mengelola kekuasaan untuk kepentingan masyarakat banyak dan tidak terganggu oleh permainan politik diparlemen.
Adapun Christianto yang juga memimpin lembaga Global Nexus ini menyatakan Indonesia menghadapi problem besar dalam masalah kepemimpinan nasional, mengingat sistem pemerintahan yang tidak jelas antara presidensial dan parlementer.
"Persoalannya bagaimana memodifikasi dua unsur sistem pemerintahan itu agar kepemimpinan nasional mampu mengatasi berbagai intrik dan konflik politik yang ada disemua partai, DPR, dan pemerintahan. Sejarah telah membuktikan sejak awal para elite selalu membuat intrik-intrik politik demi kepentingannya," ujar Christianto, penulis buku "Wawancara Imajiner dengan Bung Karno" itu.
Martin Hutabarat mengatakan, ketokohan dan kepemimpinan Soeharto dan Soekarno bisa dipelajari dan diambil hikmahnya untuk kepemimpinan mendatang.
Klik: