Istana Pelajari Temuan TII Tentang Indeks Persepsi Korupsi
Indonesia masih belum lepas dari budaya korupsi yang sudah mendarah daging.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNNEWS.COM,JAKARTA--Pihak Istana masih mempelajari rilis Transparency International Indonesia (TII), Kamis (6/12/2012) yang menunjukkan Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih belum lepas dari budaya korupsi yang sudah mendarah daging.
Untuk diketahui, TII mencatat IPK Indonesia turun dari peringkat 110 menjadi 118 tahun ini. Peringkat IPK Indonesia juga masih kalah dengan Timor Leste.
"Kami palajari dulu bagaimana sebenarnya hasil rilis dimaksud. Nanti kami tanggapi," ungkap Jurubicara Kepresidenan Julian A Pasha kepada Tribunnews, melalui pesan singkatnya, Jakarta, Kamis (6/12/2012).
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal TII Natalia Soebagjo mengatakan, IPK yang dibuat TII berasal dari 13 survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei internasional. Namun, tahun ini memiliki metodologi yang berbeda dibandingkan tahun lalu.
metode IPK yang baru, ujarnya, memungkinkan perbandingan antar waktu dengan melakukan agregasi terhadap skor dari indeks-indeks sumber dan bukan melakukan agregasi terhadap urutan dari negara-negara pada indeks sumber.
IPK yang dibuat TII merupakan gabungan indeks persepsi korupsi dari banyak lembaga survei di dunia dengan berbagai macam indikator yang digunakan untuk membandingkan antarnegara.
Dengan metode yang lama, perubahan skor antartahun sebuah negara bisa disebabkan karena perubahan yang terjadi di negara lain, bukan karena perubahan di negara itu sendiri.
Sementara dengan metode yang baru, skor antar tahun suatu negata bisa dibandingkan. Sehingga perubahan skor tersebut bisa diinterprestasikan sebagai representasi perbaikan atau kelemahan usaha pemberantasan korupsi.
Perubahan lain yang dilakukan adalah rentang skala dari IPK. Jika pada metode yang lama, IPK dihitung dengan skor 0-10 (0 dipersepsikan sangat korup, 10 sangat bersih) diubah menjadi 0-100 (0 dipersepsikan sangat korup, 100 sangat bersih). Dengan demikian, skor IPK Indonesia sebelumnya dikonversikan dengan mengkalikan skor lama dengan angka 10.
Pada tahun 2011 lalu, IPK Indonesia yakni 3.0 atau juka dikonversikan dengan metode baru berarti 30. Sementara pada tahun 2012 IPK Indonesia 32.
"Secara regional. Indonesia tidak mengalami banyak perubahan. Masih ada di jajaran bawah apabila dibandingkan skor CPI (IPK) tiap negara di Asia Tengara. Skor 32 ini menunjukkan bahwa Indonesia masih belum keluar dari situasi korupsi yang mengakar," ujar Natalia, Kamis (6/12/2012), dalam jumpa pers di Hotel Atlet Century, Jakarta.
Peringkat Indonesia sejajar posisinya dengan Republik Dominika, Ekuador, Mesir, dan Madagaskar. Secara regional, Indonesia masih kalah dengan Singapura (skor IPK 87), Brunei Darussalam (55), Malaysia (49), Thailand (37), Filipina (34), dan Timor Leste (33).
Jika dilihat secara global, lima negara dengan skor tertinggi adalah Denmark (90), Finlandia (90), Selandia Baru (90), Swedia (88), dan Singapura (87). Sementara lima negara dengan skor terbawah yakni Somalia (8), Korea Utara (8), Afghanistan (8), Sudan (13), dan Myanmar (15).
"Dengan kondisi seperti ini TI Indonesia akan terus dan memperkuat gerakan anti korupsi berbasis masyarakat dengan mengembangkan gerakan sosial anti korupsi yang melibatkan berbagai kelompok dalam masyarakat," ucap Natalia.
Selain itu, Natalia mengatakan perlunya dukungan penyidikan dan penindakan kasus-kasus korypsi skala besar. Kemandirian dan kredibilitas lembaga penegak hukum juga harus ditingkatkan. "Pelemahan terhadap KPK harus dihentikan," ucap Natalia.
Natalia mengungkapkan salah satu yang survei yang digunakan TII untuk merilis IPK Indonesia juga melibatkan kalangan pengusaha sebagai responden. Oleh karena itu, Natalia melihat jika ingin meningkatkan IPK, Indonesia harus membenahi pelayanan publik dan perizinan usaha.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.