Masalah Santet Tidak Perlu Masuk RUU KUHP
Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Khamis, mengatakan pasal yang mengatur soal santet tidak perlu
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Khamis, mengatakan pasal yang mengatur soal santet tidak perlu dimasukkan dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Saya berpendapat tidak perlu karena beberapa alasan, Pertama, tertib kehidupan macam apa yang mau dipromosikan melalui pasal santet itu?" kata Margarito ketika dikonfirmasi Tribunnews.com, Sabtu (23/3/2013).
Dalam ilmu perundang undangan, Margarito mengatakan suatu fenomena kehidupan yang hendak dipositivisasi (dinormakan menjadi norma hukum) adalah fenomena-fenomena yang dapat diverifikasi, fenomena yang nyata. "Pertanyaannya bagaimana memverifikasi tindakan santet itu. Saya pikir fenomena ini tidak bisa diverifikasi," kata Margarito.
Kedua, menurut dia, kalau diakali dengan menjadikan santet sebagai delik formil (delik yang tidak dikaitkan sebab akibat - causalitet), maka soalnya adalah unsur unsur apa dalam santet itu yang harus dirangkai menjadi terminologi santet? "Jadi dari segi ilmu perundang-undangan tidak logis santet dikriminalkan," kata dia.
Dijelaskan kebijakan membuat pasal santet itu tidak memiliki basis nalar dan keilmuan hukum. "Tidak ada juga nalar sejarah untuk pasal ini," kata dia.
Menurut Margarito tahun 1803 KUHP yamg belaku sekarang dibuat di Perancis, tetapi tidak ada pasal Santet. Tahun 1917 KUHP itu resmi diberlakukan di Hindia Belanda, tetapi Pemerinta Hindia Belanda juga tidak memberlakukannya.
Tahun 1945 pemerintah Indonesia memberlakukan bagi republik yang baru merdeka ini, tetapi pemerintah juga tidak memasukkan santet sebagai pidana. "Bagaimana mungkin ditengah kehidupan yang begini maju, kita bicara santet? "Jujur saja hapus saja rancangan pasal santet itu," kata Margarito.