Ada Mukjizat di Musibah Pesawat Lion Air
Untung Santosa (49) mengaku sangat merasakan mukjizat Tuhan dalam keselamatan yang dia alami.
Penulis: Domu D. Ambarita
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Untung Santosa (49) mengaku sangat merasakan mukjizat dari Tuhan.
Laki-laki yang sudah tiga tahun lebih menderita stroke, tiba-tiba mampu berjalan lincah, melangkahi kursi demi kursi, meninggalkan pesawat yang mulai tergenang air laut.
Padahal, sehari-hari, badannya nyaris mati sebelah kanan, dan saat berjalan pun harus pakai tongkat atau dipapah.
"Ini sebuah mukjizat, pertolongan Tuhan. Biasanya di jalan datar saja, saya sulit berjalan," kata Untung saat ditemui Tribunnews.com di kamar perawatan 312 RS Kasih Ibu Tabanan, sekitar 30 kilometer dari Bandara Ngurah Rai, Bali, Senin (15/4/2013).
Untung dan Artami tidak merasakan sesuatu yang ganjil saat, sebelum, dan sesudah penerbangan.
"Enggak ada firasat apa-apa," ujar Artami yang duduk di tempat tidur di kamar perawatan yang sama.
Selama penerbangan, lanjutnya, cuaca bagus dan pesawat tak pernah mengguncang.
"Cuma ketika mau landing, jam 15.10 WITA, saya ingat karena pas lihat jam, kok gelap. Saya heran, benar-benar gelap, sampai-sampai tidak bisa melihat ke luar. Lalu setelah mau landing, saya juga sempat curiga, kok landingnya dari barat, biasanya dari timur. Dan, biasanya penumpang bisa melihat hutan bakau, tapi kali ini saya heran kok tidak ada hutan hijau," tutur Untung.
Setelah mendengar dari kawan-kawannya, Untung belakangan mengetahui, bahwa Sabtu lalu, cuaca di Bali memang buruk. Sepanjang Sabtu, hujan dan berawan.
Artami menyahut, "Lima menit sebelum landing, gelap, benar-benar gelap. Tiba-tiba, byar, hujan turun. Tadinya saya di tengah, di 7E dekat bapak, tapi karena kursi 7F yang di pinggir kosong, orangnya pindah ke depan, saya ke pinggir. Saya buka kaca, tapi karena gelap kami enggak bisa melihat ke luar. Tidak kelihatakan apa-apa."
Di hari nahas itu, Untung bersama Ni Luh Artami, istrinya, baru saja pulang dari perjalanan lima hari di Sukabumi dan Bandung. Untung menemui teman bisnisnya. Empat tahun lalu, sebelum terserang stroke, Untung adalah seorang kontraktor.
Detik-detik pesawat hendak tercebur, Untung merasakan seperti sudah landing. Tapi ketika tiba-tiba mencebur air, dia baru berteriak histeris.
"Haleluya...Haleluya...Puji Tuhan, nada berserunya lebih keras...Cuma itu yang saya katakan saat air menerjang kapal," ungkapnya.
"Saya Puji Tuhan, enggak tahu ini tangan Tuhan yang menuntun saya, sehingga bisa jalan ke depan. Oleh co-pilot, saya ditaruh di pelampung di depan, setelah penumpang kosong baru saya diungsikan," jelasnya.
Ia menambahkan, "Kata istri, saya jalannya di atas kursi, padahal saya rasanya jalan biasa saja di lantai."
Walau terempas musibah, Untung dan Artami mengucap syukur, karena pilot dapat mendaratkan pesawat di lokasi darurat yang aman, yakni laut dangkal.
Andai ke laut dalam, pasti tenggelam, karena dalam kondisi stroke, Untung pasti tidak dapat berenang. Atau kalau pilot memaksakan mendarat ke bandara, mungkin akan menghantam pagar atau berbatu, sehingga kemungkinan akan hancur terbakar.
"Ini sebuah mukjizat, pertolongan Tuhan. Ini atas kebaikan Tuhan, suatu keajaiban, pesawat bisa jatuh di air, bukan di bebatuan yang sebenarnya sudah dekat di situ. Kalau kena batu, bisa bahaya. Yang saya lihat, sudah dekat sayap," beber Untung. (Domu D Ambarita)