Anggota DPR: UU Pemilu Legislatif Berpihak Pada Perempuan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah menegaskan bahwa Undang-Undang Pemilu legislatif berpihak
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah menegaskan bahwa Undang-Undang Pemilu legislatif berpihak pada pemberdayaan perempuan.
Hal tersebut ditegaskan anggota DPR ketika memberikan keterangan pada sidang lanjutan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (16/4/2013).
Martin Hutabarat, Anggota Komisi III DPR RI, mengatakan pasal 56 ayat 2 dalam menjelaskannya telah membuka peluang cukup bagi bakal calon anggota legislatif perempuan untuk ditempatkan pada nomor urut satu, dua, tiga dan seterusnya dalam daftar calong anggota legislatif.
"Pendapat pemohon tak cukup beralasan dan sedikit pun tidak menghalang - halangi hak kontitusional para pemohon untuk menjadi bakal calon anggota legislatif," ujar Martin di MK.
Sementara itu dari unsur pemerintah juga mengatakan dalam undang-undang tersebut sudah berpihak pada pemberdayaan dan penguatan peran perempuan dalam sistem Pemilu.
"Porsi itu sudah diberikan 30 persen dengan sistem keterwakilan. Intinya, syarat 30 persen itu sudah menjadi keputusan politik dan harus didukung," kata Reydonnyzar Moenek, Staf Ahli Kementerian Dalam Negeri.
Menurut Donny, panggilan akrabnya, masalah tersebut sebenarnya terletak pada pemahaman saja. Tidak ada diskriminasi dengan berlakunya undang-undang tersebut.
"Sebetulnya kita lebih pada kata 'mempertimbangkan' keterwakilan perempuan, mengingat sistem pemilihan kita mengutamakan persebaran. Jadi, 30 persen secara kuota sudah terpenuhi," terang Donny.
Sebelumnya, undang-undang tersebut digugat oleh Pusat Pemberdayaan Perempuan Dalam Politik, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Lembaga Partisipasi Perempuan, Perhimpunan Peningkatan Keberdayaan Masyarakat, Wanita Katolik Republik Indonesia, Yayasan Institute Pengkajian Kebijakan dan Pengembangan Masyarakat, Women Research Institute, dan Yayasan Melati 83.
Titi Sumbung, seorang pemohon, mengatakan permohonan tersebut didasari adanya beberapa kata atau frasa yang tidak tegas, sehingga berpotensi menimbulkan perbedaan persepsi.
"Banyak digunakan kata-kata multitafsir, seperti 'menyertakan', 'memuat', 'mempertimbangkan', dan semua ini tidak memiliki sanksi," katanya.