SBY Omong Demokrat di Istana, Resiko Rangkap Jabatan
Ketua DPP Partai Golkar Hajriyanto Tohari menilai sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan konsekuensi
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPP Partai Golkar Hajriyanto Tohari menilai sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan konsekuensi logis rangkap jabatan. SBY menyampaikan perkembangan Partai Demokrat dalam kapasitasnya sebagai ketua umum di Istana Negara.
"Siapapun presidennya jika perangkapan jabatan antara presiden dan partainya itu masih ada. Maka akan tetap terjadi seperti itu. Pasalnya, itu adalah hal yang sulit dipisahkan," kata Hajriyanto ketika dihubungi Tribunnews.com, Kamis (18/4/2013).
Wakil Ketua MPR itu mengatakan jika publik tetap mentoleransi rangkap jabatan maka hal itu akan terjadi tidak hanya di Istana Negara saja. Melainkan di rumah dinas, ataupun fasilitas-fasilitas negara lainnya.
Sementara Politisi PDIP Eva Kusuma Sundari menyatakan langkah Presiden melakukan rangkap jabatan harus diakhiri. Pasalnya, konflik kepentingan tidak bisa dihindarkan. "Sebagai pejabat publik dia sdh disumpah untuk mendahulukan kepentingan publik dibanding golongan, keluarga," imbuhnya.
Ia pun mengatakan presiden harus berkorban untuk rakyat bukan sebaliknya. Di tahun politik, rangkap posisi ini bisa mengganggu terciptanya 'fair n free' battle," tutur Anggota Komisi III itu.
Sedangkan Ketua DPP Hanura Saleh Husin meminta SBY membedakan antara
masalah negara dan masalah internal partai. "Beliau mungkin tidak terkontrol bicara partai di istana. Alangkah bagus kalau bicara partai tidak di Istana di kediaman saja. Karena bagaimana pun ini kan melekat selaku presiden . Ini resiko seorang presiden menjadi ketum partai," kata Saleh.
Saleh menuturkan SBY hanya terkena masalah etika. Menjadi elok, kata Saleh, bila berbicara partai politik diluar Istana Negara.
"Kalau ada kritik menjadi wajar dan resikonya seperti itu, dia harus mau menerima," katanya.