Pakar Hukum: PK Diajukan untuk Keadilan Bukan Kepastian Hukum
Inti kepedulian dan nurani tersebut dikatakan Romli sudah sejak lama dilupakan atau diabaikan oleh elite pimpinan nasional
Penulis: Eri Komar Sinaga
Laporan Wartawan Tribunnews, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita, mengatakan permintaan peninjauan kembali (PK) bukan untuk kepastian hukum namun untuk kepastian keadilan.
Menurut Romli, PK sebagaimana yang diatur dalam Pasal 268 ayat (3) Hukum Acara Pidana terhadap UUD 1945 bukanlah kewajiban melainkan hak terpidana sepanjang hayatnya menjalani penjara sekalipun terpidana berada pada masa akhir tahanan.
Alasan PK memuat alasan-alasan faktual semata-mata yang intinya jika ditemukan fakta adanya novum, atau terdapat fakta terdapat putusan yang saling bertentangan, atau terdapat fakta ada kekeliruan nyata dari majelis hakim.
"Ketiga alasan faktual tersebut bukan alasan untuk mencapai tujuan kepastian hukum melainkan untuk mencapai tujuan keadilan, karena dengan tujuan kepastian hukum telah dipenuhi (selesai) seketika jatuhnya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap," ujar Romli saat memberikan kesaksian persidangan uji materi PK di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (4/6/2013).
Dikatakan Romli, ketiga alasan PK merupakan sarana hukum untuk mengubah nasib terpidana dan merupakan upaya 'memuliakan' harkat martabat sesamanya sekalipun dalam status terpidana.
"Peristiwa yang terjadi pada Antasari Azhar, dan mungkin masih banyak lagi perkara, boleh jadi adalah akibat dari 'ketidak-bebasannya' hukum (penguasa) dari pengaruh Politik,"ujar Romli.
Antasari, lanjut Romli, merupakan korban pandangan negara hukum formal, bukan dalam konteks konsep negara hukum bernurani.
Inti kepedulian dan nurani tersebut dikatakan Romli sudah sejak lama dilupakan atau diabaikan oleh elite pimpinan nasional termasuk aparatur negara dan aparatur hukum.
"Dalam proses penegakan hukum telah terjadi krisis nilai perikemanusiaan yang adil dan beradab sehingga telah banyak korban salah tangkap dan salah tahan bahkan korban salah penghukuman seperti kasus Sengkon dan Karta, kasus Muchtar Pakpahan, Prita Mulyasari, Sri Bintang Pamungkas dan termasuk Antasari Ahar yang kini sebagai pemohon," pungkasnya.