Mesir Ajarkan Demokrasi Bukan Hanya Pemilu
Wakil Ketua MPR, Hajriyanto Y Tohari menyatakan krisis Mesir menjadi pelajaran bagi Indonesia.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR, Hajriyanto Y Tohari menyatakan krisis Mesir menjadi pelajaran bagi Indonesia. Pelajaran yang didapat bahwa Pemilu bukan segala-galanya.
"Demokrasi bukan Pemilu semata. Presiden Mursi terlalu mengandalkan hasil pemilu, bahwa dia dipilih melalui pemilu yang sah dan demokratis. Dia merasa hasil pemilu itu merupakan mandat penuh dari rakyat dan sekaligus memberikan legitimasi politik penuh pada dirinya," kata Hajriyanto melalui pesan singkat, Kamis (4/7/2013).
Namun, Mursi lupa bahwa ada bagian dari rakyatnya yang tidak memilihnya. Mereka inilah yang bergabung ke dalam barisan oposisi.
"Oposisi itu harus dikelola, diajak sharing of power. Presiden meski sah dan menang pemilu tidak bisa menjalankan kekuasaan secara otoritarianisme. Dia harus mendengar juga suara yang tidak mendukungnya. Dia harus berbagi kekuasaan," katanya.
Hajriyanto mengatakan, Indonesia harus belajar dari kasus Mesir bahwa demokrasi bukan hanya persoalan pemilu. "Demokrasi jauh lebih kompleks dan rumit daripada sekedar pemilu. Para pemenang pemilu, berhati-hatilah," tuturnya.
Sementara Ketua DPP PDIP bidang Pertahanan dan Luar Negeri, Andreas Hugo Pareira, mengatakan peristiwa di Mesir adalah contoh kasus transisi yang tidak berjalan mulus.
"Kalau tidak mau dikatakan gagal. Rezim peralihan setelah Hosni Mobarak tidak mampu secepatnya menata tutuntan demokratisasi di Mesir (keterbukaan dan hak WN dalam berpolitik), ditambah dengan munculnya ketimpangan sosial ekonomi," ungkapnya.
Akumulasi dari berbagai persoalan tersebut, kata Andreas, menyebabkan setiap letupan kecil kemungkinan berpoetensi menjadi sebuah revolusi baru. Situasi tersebut, apabila berlarut-larut akan sangat mungkin menyebabkan masyarakat menjadi jenuh terhadap terhadap demokratisasi yang gagal dan akan memberi ruang kepada kekuasaan otoriter bisa dari militer atau koalisi sipil-militer untuk kembali mengontrol mesir.
"Konteks Indonesia, dalam hal transisi mirip, cuma kita pada 1999 Pemilu demokratis diikuti dengan penataan kelembagaan politik yang mendukung proses demokratisasi, terutama kebebasan pers dan eliminasi supremasi militer atas politik," tuturnya.
Lalu, diikuti dengan Pemilu 2004 yang juga demokratis. Ia mengatakan justru persoalan kita malah terjadi over-liberalisasi dalam demokratisasi kita.
"Dalam hal campur tangan asing ini lebih disebabkan lemahnya karakter pemimpin/pemerintah yang berkuasa bukan karena kesalahan proses demokratisasi yang kita alami," katanya.