Suap, Dunia Gelap Lembaga Peradilan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menangkap oknum pengacara atas dugaan penyuapan
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menangkap oknum pengacara atas dugaan penyuapan. Abdul Fickar Hajar, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Trisakti, mengatakan suap-menyuap merupakan bagian dari dunia gelap lembaga peradilan.
"Itu hanya puncak gunung es, kalau mau dibuka semua, peradilan seperti itu. Yah itu tadi orang berperkara itu tidak lepas dari suap-menyuap," ujar Abdul yang juga berprofesi sebagai seorang pengacara, ketika dihubungi Tribunnews.com, Jumat (26/7/2013).
Menurut Abdul, hal itu tak terlepas dari keinginan besar dari pihak berperkara untuk memenangkan perkaranya di pengadilan. Hal itu bertemu dengan kewenangan yang dimiliki oleh hakim untuk memutus perkara.
"Di bawah permukaan ini yang terjadi. penyebabnya adalah keinginan untuk menang, dan di suatu sisi adalah kewenangan untuk memenangkan dan mengalahkan (perkara) di hakim, ketemulah dua kepentingan itu," katanya.
Persoalan mengenai bobroknya moral juga dialami di penegak hukum lain, contohnya seperti di kejaksaan, dan kepolisian. "Ini kan sebenarnya paralel, ini kan pengacara, sebelumnya di Bandung hakim, tempo hari jaksa," katanya.
Untuk mengurai benang kusut di sistem peradilan Indonesia, diperlukan pembenahan budaya hukum yang ada di Indonesia. Menurutnya budaya hukum yang baik harus diciptakan, seperti mengedepankan sikap yang taat hukum, dan bertindak sportif ketika berperkara.
"Yang harus diperbaiki adalah budaya hukumnya, yaitu budaya yang ingin selalu menang, tidak sportif dalam berperkara," ucapnya.
Menurtu Abdul, pembenahan di sistem hukum Indonesia, harus dimulai di lembaga penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
"Ini (pembenahan) harus dimulai dari atas dari aparat penegak hukumnya, itu yang harus diperbaiki dulu, kalo mereka bersih, pengacara tidak bisa menyuap," katanya.