Banyak Tersangkut Korupsi, Pemerintah Usul Dipilih DPRD
Pilkada langsung faktanya mengakibatkan berbagai konsekuensi buruk di masyarakat.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pilkada langsung faktanya mengakibatkan berbagai konsekuensi buruk di masyarakat. Selain mahalnya ongkos politik (money politics), terdapat 70 korban jiwa, 107 korban luka, 279 rumah rusak, pertokoan yang dibakar, dan 95 persen pasangan pecah kongsi.
"Itu mengakibatkan birokrasi pemerintahan tak jalan,” kata Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Johermansyah Johan dalam diskusi ‘RUU Pilkada’ bersama Ketua Komisi II DPR RI Agun Gunandjar Sudarsa, dan Wakil Ketua DPD RI Laode Ida di Gedung DPD RI Jakarta, Rabu (18/9/2013).
Mengingat 304 dari 500-an kepala daerah Kabupaten/Kota tersangkut korupsi sejak dipilih langsung pada 2005 – 2013 ini, ditambah lagi dengan konflik sosial, korban jiwa, harta, benda, dan sebagainya dalam Pilkada (Pemilihan kepala daerah) langsung tersebut, maka pemerintah mengusulkan pemilihan itu dikembalikan ke DPRD.
Fakta itu merupakan ancaman serius karena pemimpin yang kita pilih ternyata tidak menjalankan amanah rakyat. Sedangkan untuk Gubernur tetap dipilih langsung, karena ongkos politiknya lebih murah, dan konflik sosial bisa dihindari, tidak sebagaimana Pilkada kabupaten/kota.
“Fakta politik tersebut juga merupakan pendidikan politik yang buruk bagi rakyat. Karena itu pemerintah mengusulkan kepala daerah itu dipilih oleh DPRD Kabupaten/Kota. Sementara wakilnya diangkat dari unsur pegawai negeri sipil (PNS) atau non PNS,” kata Johermansyah.
Meski masih terjadi perbedaan pandangan antara DPR RI dan pemerintah, namun keduanya optimis revisi UU Pilkada tersebut akan selesai pada masa sidang pertama 2013-2014 ini.
“DPR sepakat jika mengakibatkan konflik sosial yang massif dan besarnya money politics. Tapi, tak sepakat bahwa pemilihan langsung itu yang menyebabkan pejabat menjadi koruptor. Sebab, hal itu akibat pemerintah pusat tak konsisten menjalankan otonomi daerah,” ujar Agun.
Agun menilai Kemenkeu RI sebagai penentu APBN yang neolib kapitalis, yang berwenang menentukan anggaran keuangan daerah tersebut. Karena itu, apakah dipilih langsung atau tidak menurut Agun, pemerintah harus konsisten menjalankan otonomi daerah tersebut.
“APBN Rp 1600 triliun, dan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen, namun hal itu tak berbanding lurus dengan pemerataan dan kesejahteraan rakyat karena otonomi tak dijalankan sepenuhnya,” kata Agun.
Laode Ida berpendapat mengapa kepala daerah banyak tersangkut korupsi, karena mereka ini menjadi kunci untuk mengendalikan keuangan daerah, ditambah lagi ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah, diback up oleh cukong atau kongkalikong dengan pengusaha hitam.
“Maka wajar kalau terjadi money politics, dan itu menyuburkan korupsi, membangun dinasti politik, dan tentu memicu konflik yang memprihatinkan. Padahal, kalau bisa meninggalkan politik buruk tersebut, maka bisa memajukan dan mensejahterakan daerahnya dengan mandiri dan berwibawa,” katanya.(js)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.