Iberamsjah: Ical Tidak Cerminkan Pemimpin Partai Besar
Bagaimana mungkin orang sekelas Akbar, dilarang berpendapat. Dia mantan Ketua Umum Golkar yang pernah membela mati-matian Golkar saat sulit.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai sebesar Golkar tidak bisa dipimpin dengan gaya seperti Aburizal Bakrie (Ical) yang dinilai tidak demokratis. Misalnya melarang orang beda pendapat, juga melarang Akbar untuk terus mengusik dengan usulan evaluasi pencapresan.
“Bagaimana mungkin orang sekelas Akbar, dilarang berpendapat. Dia mantan Ketua Umum Golkar yang pernah membela mati-matian Golkar saat sulit. Juga pernah menjadi Ketua DPR, dan beberapa kali menteri. Ini tidak masuk akal,” kata pengamat politik dari FISIP UI, Iberamsjah, Senin (23/9/2013).
Iberamsjah diminta komentarnya menanggapi makin memanasnya perseteruan antarelite di Golkar, khususnya antara Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Akbar Tandjung dan Ical serta para pengurus DPP lainnnya.
Ketua umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) dinilai lupa bahwa partai yang dipimpinnya adalah partai besar yang punya sejarah dan tradisi berdemokrasi yang sudah panjang. Bahkan dalam situasi sulit pun di awal reformasi, partai ini mampu bertahan dari berbagai rongrongan, termasuk bertahan dari gempuran pembubaran.
Namun, saat ini Golkar seperti terseok dan tidak mampu mengembalikan jatidiri serta kebesaran partai dengan anggota puluhan juta dan tersebar hingga ke pelosok daerah. Ical sepertinya menanggap Golkar itu perusahaan, sehingga kepemimpinnya tidak mencerminkan pemimpin partai besar.
Akibatnya muncul berbagai benih-benih ketidakpuasan yang memuncak pada perseteruan antarelite seperti pernyataan Akbar Tandjung yang secara terbuka dan keras meminta evaluasi atas kinerja DPP dan juga pencapresan Ical.
Justru kata Iberamsjah, orang seperti Akbar dan juga tokoh lain seperti Jusuf Kalla dan sebagainya, dirangkul, diajak bicara dan kemudian berembuk mencari solusi bersama atas berbagai persoalan yang mencuat ke permukaan.
“Konflik antarelite akan berimbas ke bawah. Kader dan simpatisan akan berfikir untuk membela Golkar apabila pemimpinnya ribut dan konflik terus di media,” kata.
Iberamsjah juga menyayangkan para pendukung Ical yang sepertinya tidak belajar dari sejarah perjalanan Golkar, dan malah memberikan pernyataan yang kurang etis serta merugikan partai.
Iberamsjah mengusulkan agar para tokoh Golkar bertemu membahas dinamika politik saat ini, apalagi elektabilitas Ical sebagai capres yang masih di bawah 10 persen, dipastikan akan sulit untuk bersaing dengan kandidat lain yang lebih memiliki elektabilitas tinggi.
”Mengapa memaksakan mencalonkan diri jika elektabilitas tetap rendah. Di sini evaluasi sangat penting,” kata Iberamsjah.(js)