Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Mahfud MD: Akil tak Butuh Hakim Lain saat 'Bermain Perkara'

Mahfud MD menduga, Akil Mochtar beraksi sendirian saat memutuskan untuk menerima suap sejumlah perkara sengketa pilkada.

zoom-in Mahfud MD: Akil tak Butuh Hakim Lain saat 'Bermain Perkara'
/TRIBUNNEWS.COM/FX ISMANTO
MAHFUD MD, usai melakukan dialog bersama Tribun Jakarta mendapat kenangan lukisan karikartur dirinya yang diserahkan langsung oleh GM Tribunnews Febby Mahendra, Rabu (4/12/2013) di Karto Tribun Jakarta. (TRIBUNNEWS.COM/FX ISMANTO) 

Laporan Wartawan Tribunnews.com Nurmulia Rekso Purnomo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menduga, Akil Mochtar beraksi sendirian saat memutuskan untuk menerima suap sejumlah perkara sengketa pilkada.

Mahfud meyakini, suksesornya yang kini telah dilengserkan secara tak hormat itu, tidak melibatkan hakim-hakim MK lainnya,

Saat bertandang ke kantor Tribunnews.com, Rabu (04/12/2013), Mahfud mengatakan seorang hakim MK bila ingin "bermain kasus" tidak perlu mengajak hakim lain dalam aksinya. Itu seperti yang dilakukan  Akil.

Ia menuturkan, hasil rapat kesimpulan terkait perkara piilkada, hanya diketahui oleh hakim- hakim MK dan sejumlah panitera. Hakim yang nakal, bisa saja langsung menghubungi pihak pemenang dan menawarkan bantuan untuk bisa memenangkan kasus setelah rapat itu usai.

"Nah, sebelum hari sidang putusan, hakim yang nakal kan bisa menelepon pihak yang sebenarnya sudah dinyatakan menang oleh rapat kesimpulan itu, 'halo, anda mau menang enggak'," tukas Mahfud.

Ia menjelaskan, hakim yang menyidangkan suatu kasus terdiri dari sembilan orang. Para hakim, kemudian kembali dibagi dalam tiga panelis. Masing-masing panelis terdiri dari tiga hakim.

Berita Rekomendasi

"Pada kasus tertentu yang dapat dikatakan sederhana, hasil rapat panel hakim akan dilaporkan keenam hakim lainnya, dan langsung disetujui. Kalau perkaranya sudah jelas, itu gampang, (memutuskan pemenang perkara)," tuturnya.

Salah satu kasus yang mudah diputuskan adalah gugatan pilkada  oleh calon yang kalah, dengan selisih suara cukup besar. Kalau bukti-bukti yang diajukan dianggap lemah, maka sebelum persidangan dimulai pun sang penggugat dapat dipastikan akan kalah.

"Yang sulit itu kalau selisihnya dekat. Maka kita buka lagi data, dan kita debat panjang lebar," ujar Mahfud.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas