Perbaikan Ekonomi Bisa Cegah Terulangnya Kasus Wilfrida Soik
Rahayu Saraswati, menganggap salah satu cara untuk mencegah terulangnya kasus Wilfrida Soik, adalah dengan perbaikan ekonomi
Editor: Gusti Sawabi
TRIBUNNEWS.COM, KELANTAN ---- Chairwoman Yayasan Parinama Ashta, Rahayu Saraswati, menganggap salah satu cara untuk mencegah terulangnya kasus Wilfrida Soik, adalah dengan perbaikan ekonomi yang membuka lapangan-lapangan pekerjaan baru di daerah.
Rahayu Saraswati atau yang akrab dipanggil Sara yang juga ikut datang ke persidangan Wilfrida di Mahkamah Tinggi Kota Bharu, Klantan, Malaysia mengatakan ketiadaan lapangan pekerkjaaan membuat perempuan semacam Wilfrida terpaksa mengadu nasib ke luar negri. Bahkan dengan menempuh jalur-jalur ilegal.
Hal itu ditambah dengan lemahnya penegakan hukum di bidang pekerja migran. Banyak warga negara Indonesia yang tidak memiliki kemampuan yang mempuni, serta tidak dilengkapi surat-surat resmi, bisa lolos bekerja di luar negri.
"Contohnya Wilfrida, dia kan tidak bisa bahasa Melayu Klantan, hal itu membuat masalah komunikasi Wilfrida," katanya, Senin (13/1/2014)
Selain Wilfrida ia juga menyebutkan banyak pekerja migran asal Indonesia di Timur Tengah yang tidak menguasai bahasa setempat. Alhasil banyak terjadi konflik karena miskomunikasi, yang berakhir pada penyiksaan-penyiksaan, dan tindakan lainnya.
Keponakan Ketua Umum Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Prabowo Subianto itu juga menuding lemahnya sistem data kependudukan di Indonesia juga membuat kasus-kasus seperti Wilfrida bisa terjadi. Ia menyebutkan walaupun Indonesia sudah menerapkan E-KTP namun hal itu tidak menjamin seseorang tidak bisa memiliki lebih dari satu identitas.
Wilfrid Soik datang ke Klantan pada akhir tahun 2010. Ia bekerja di kediaman keluarga Yeap Seok Pen, (60) di Kampung Lubuk Tapah, Pasir Mas, Klantan. Setelah sebelas hari bekerja, Wilfrida pun didapati membunuh perempuan pengidap Parkinson itu. Wilfrida mendorong jatuh Yerap Seok Pen dan menikamnya. Wilfrida pun diancam hukuman mati.
Belakangan diketahui Wilfrida memalsukan identitasnya, saat kejadian pembunuhan Wilfrida ternyata masih dibawah umur, 17 tahun.
Menurut Sara Jika sistem kependudukan di Indonesia sudah baik, maka perempuan-perempuan lain seperti Wilfrida tentunya akan kesulitan untuk pergi keluar negeri. (NURMULIA REKSO PURNOMO).