Penyalur Tak Tahu Jika Wilfrida akan Merawat Penderita Parkinson
Agen Penyalur Wilfrida Soik ke Klantan mengakui pihaknya tidak mengetahui secara detail tugas yang akan dibebankan ke wanita tersebut
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Teh Ying Heng, pemilik agensi tenaga kerja yang menyalurkan Wilfrida Soik ke Klantan mengakui pihaknya tidak mengetahui secara detail tugas yang akan dibebankan kepada buruh migran asal Indonesia itu saat akan bekerja.
Wilfrida kini diancam hukuman mati karena melakukan pembunuhan terhadap majikannya, Yeap Seok Pen, (60) pada 2010 lalu. Dalam kesaksiannya di Mahkamah Tinggi Kota Bahru, Kelantan, Malaysia, Minggu (19/1/2014), Teh Ying Heng mengatakan sebelum Wilfrida bekerja perempuan asal Nusa Tenggara Timur (NTT) itu hanya dilatih seminggu di Malaysia untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan tidak ada pelatihan untuk merawat orang sakit.
Sedangkan Wilfrida bekerja pada majikan yang mempunyai penyakit parkinson dan membutuhkan bantuan ekstra untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari. Teh Ying Heng juga melakukan perekrutan dan penempatan pada saat moratorium.
Pada persidangan yang dipimpin oleh Hakim Y.A. Dato Azmad Zaidi bin Ibrahim itu juga terungkap perekrutan Wilfrida dilakukan oleh agen perorangan yang membantu pengurusan dokumen Wilfrida.
Agen tersebut juga memalsukan identitas dan paspornya. Wilfrida masuk ke Malaysia melalui Batam dengan jalan laut. Saat tiba di Malaysia, Wilfrida belum berumur 17 tahun.
Untuk menghindari hukuman mati, pengacara Wilfrida, Tan Sri Muhammad Shafee Abdullah meminta Wilfrida untuk diperiksa kesehatan jiwanya dan melakukan pemeriksaan uji tulang untuk memastikan umur Wilfrida.
Anggota Komisi IX Rieke Diah Pitaloka dalam keterangan persnya yang diterima TRIBUNnews.com berharap Presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk membantu agar pihak Malaysia tidak seperti mengulur-ulur waktu mengeluarkan hasil uji tulang (bone examination). Pasalnya hasil uji psikologis terakhir sudah terbukti bahwa Wilfrida mengalami gangguan jiwa saat melakukan pembunuhan.
"Kedua bukti ini sudah dapat menunjukkan bahwa Wilfrida harus dibebaskan dari hukuman mati karena usia masih di bawah umur," ujarnya.
Ia juga meminta pemerintah Indonesia untuk menekan pemerintah Malaysia untuk menyediakan penterjemah bahasa Tetum bagi Wilfrida selama di persidangan.
"Penterjemah bisa dari Pemda atau pihak gereja. Meskipun Wilfrida sudah disediakan juru bahasa Melayu-Mandarin oleh Pemerintah, namun agar Wilfrida memahami betul isi persidangan," katanya.