Gerindra Ajukan PK Soal Putusan UU Pilpres MK
Partai Gerindra melalui kuasa hukumnya, Habiburokhman, hari ini menyampaikan memori perbaikan permohonan peninjauan kembali
Penulis: Arif Wicaksono
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Eri Komar Sinaga
TRIBUNEWS.COM, JAKARTA - Partai Gerindra melalui kuasa hukumnya, Habiburokhman, hari ini menyampaikan memori perbaikan permohonan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 tahun 2013 terhadap uji materi UU Nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden.
Dalam perbaikan permohonan tersebut, Habiburokhman menyebutkan dua hal penting mengenai PK tersebut.
"Pertama adalah tidak dikabulkannya Pasal 9 yang merupakan pasal yang menganut pemilu tidak serentak," ujar Habib, saat ditemui di MK, Jakarta, Senin (28/1/2014).
Pasal 9 mengatur mengenai ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Keputusan MK tersebut konstradiksi dengan putusan MK yang menyatakan pasal 3 ayat 5, pasal 12 ayat 1, pasal 14 ayat 2, dan pasal 112 bertentangan dengan konstitusi dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Ada inkonsistensi di sini," kata Habib.
Kedua, lanjut Habib, amar putusan yang menyebutkan putusan ini baru berlaku pada 2019. Menurut Habib, masa berlaku yang diberikan MK konstradiktif karena MK sudah menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi.
"Kenapa tidak dilakukan sejak saat ini? ada pun alasan yang mepet menurut saya itu alasan sangat tidak masuk akal. Karena yang dilakukan adalah hanya perubahan jadwal, dari Pileg 9 April disamakan dengan Pilpres setelahnya," lanjut Habib.
Habib menyayangkan sikap Mahkamah yang tidak berkaca pada tahapan Pemilu yang sebelumnya sering berganti-ganti. Hal tersebut diperparah dengan kacaunya Daftar Pemilih Tetap (DPT).
"Jadi enggak ada masalah sama sekali dan kita ada preseden membuat putusan yang mepet tahun 2009 ketika Undang Undang Pilpres kita persoalkan kita bisa mencoblos dengan KTP. Itu kan H-1," tukas Habib.