Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

MK: Stigmatisasi dari Kasus Akil Mochtar Menciderai Hak Konstitusional Warga Negara

MK berpendapat syarat minimal tujuh tahun tidak menjadi anggota parpol sebagai hakim konstitusi adalah stigmatisasi kasus Akil

Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
zoom-in MK: Stigmatisasi dari Kasus Akil Mochtar Menciderai Hak Konstitusional Warga Negara
Warta Kota/Henry Lopulalan/henry lopulalan
AKIL DIKUNJUNGI KELUARGA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada jam besuk dikunjungi keluarga di Tahanan KPK, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (27/1/2014). Akil Mochtar adalah tersangka kasus suap dalam sengketa pilkada Lebak Banten dan Tanjung Mas. 

Laporan Wartawan Tribunnews, Eri Komar Sinaga

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTAMahkamah Konstitusi (MK) berpendapat bahwa syarat minimal tujuh tahun tidak menjadi anggota partai politik sebagai hakim konstitusi adalah stigmatisasi kasus bekas ketua MK, Akil Mochtar.

Menurut MK, Pasal 15 ayat (2) huruf i UU 4/2014 tentang syarat tersebut diterbitkan setelah kejadian tertangkap tangannya M Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Oleh karenanya, sulit untuk dilepaskan anggapan bahwa ayat ini tidak didasarkan atas kenyataan bahwa M Akil Mochtar berasal dari politisi/Anggota DPR sebelum menjadi Hakim Konstitusi. Dengan demikian, Pasal 15 ayat (2) huruf i UU 4/2014 dicantumkan berdasarkan stigma yang timbul dalam masyarakat," ujar
anggota majelis, Ahmad Fadlil Sumadi, saat membacakan pendapat Mahkamah, Jakarta, Kamis (13/2/2014).

Mahkamah mengatakan hak untuk berserikat dan berkumpul, termasuk hak untuk menjadi anggota partai politik dijamin Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan hak untuk ikut serta dalam pemerintahan adalah hak yang dijamin Pasal 28Dayat (3) UUD 1945.

Stigma biasanya menggeneralisasi, yaitu apa yang telah terjadi pada M Akil Mochtar kemudian dijadikan dasar bahwa setiap anggota partai politik pastilah tidak pantas menjadi Hakim Konstitusi.

"Stigmatisasi seperti ini menciderai hak-hak konstitusional seorang warga negara yang terkena stigmatisasi tersebut padahal haknya dijamin oleh UUD 1945. Hak untuk menjadi Hakim Konstitusi bagi setiap orang adalah hak dasar untuk ikut dalam pemerintahan," ujar Ahmad.

Berita Rekomendasi

Oleh karenanya, lanjut Harjono, setiap pembatasan terhadap hak tersebut haruslah memiliki landasan hukum yang kokoh dan valid. Menurut Harjono, Mahkamah pernah memutus satu ketentuan dalam undang-undang yang didasarkan atas suatu stigma, yaitu larangan bagi seorang warga negara untuk menjadi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota yang terlibat tidak langsung dalam peristiwa G30S/PKI.

"Bahwa korupsi haruslah diberantas adalah benar, tetapi memberikan stigma dengan menyamakan semua anggota partai politik sebagai calon koruptor dan oleh karenanya berkepribadian tercela dan tidak dapat berlaku adil sehingga tidak memenuhi syarat menjadi Hakim Konstitusi adalah suatu penalaran yang tidak benar," tukasnya.

Diberitakan, Mahkamah mengabulkan untuk seluruhnya uji materi (judicial review)  Undang Undang No 4 tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1/2013 tentang Perubahan Kedua UU MK atau eks Perppu MK yang digugat forum pengacara konstitusi dan sejumlah dosen Fakultas Hukum Universitas Jember. Menurut Mahkamah, ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 24C ayat (3), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas