Mendikbud Diminta Periksa Karya Tulis Seluruh Pejabat Negara: Diduga Pakai Jasa Ghost Writer
kasus plagiastisme yang dilakukan oleh Anggito Abimanyu yang menjabat sebagai Dirjen di Kementerian Agama dan Dosen UGM jangan terulang.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta untuk memeriksa hasil karya seluruh pejabat negara agar tidak terulang kembali kasus plagiastisme yang dilakukan oleh Anggito Abimanyu yang menjabat sebagai Dirjen di Kementerian Agama dan Dosen UGM.
Plagiatisme oleh pejabat negara dimungkinkan sekali karena peran ghost writer, mengingat mereka tidak memiliki waktu untuk menulis sendiri.
Demikian diungkapkan oleh Rahmad Pribadi lulusan Harvard University tahun 2013 jurusan Master Public Administration dan lulusan University Texas, Austin tahun 1992, Bachelor of Business Administrasion dengan bidang studi Accounting, di Yogyakarta, dalam rilis yang diterima Tribunnews.com, Selasa (18/2/2014).
“Saya mengimbau kepada pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk meneliti seluruh hasil karya tulis dari pejabat negara agar tidak menimbulkan rasa malu di kemudian hari. Plagiatisme merupakan bentuk kejahatan moral yang paling tidak bisa diterima oleh pendidikan tinggi,” ujar Rahmad Pribadi, yang sebelum ke Texas University sempat belajar di Universitas Gajah Mada di Fakultas Ekonomi.
Menurut Rahmad, tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pejabat negara, imbauan ini dilontarkan mengingat bahwa tidak mudah ketika sudah menjadi pejabat negara masih sempat kuliah untuk mengambil S-2 atau S-3. Sehingga, dijelaskan lebih lanjut, perlu ditengarai peran ghost-writer (penulis hantu) yang membantu para pejabat negara dalam menyelesaikan tugas-tugas akademiknya.
“Jika pejabat itu sekolah di luar negeri kecil kemungkinan untuk plagiat sekalipun karena pejabat tersebut tidak bekerja. Namun kalau pejabat tersebut melanjutkan studi lebih tinggi di Indonesia tanpa meninggalkan pekerjaannya, pasti salah satu entah itu pekerjaan atau studinya yang akan terkalahkan. Prioritas harus dilakukan dalam hal ini. Jika pejabat mampu menyelesaikan tugas akademik tetapi tetap aktif di instansinya boleh diduga peran ghost writer,” ujar penyuka soto yang mendapat beasiswa di University Texas.
Dalam tradisi pendidikan di Harvard University, dijelaskan lebih lanjut, kejujuran akademis (academic honesty) adalah harga mati. Setiap mahasiswa harus mengikuti sesi khusus penjelasan tentang kejujuran akademis termasuk di dalamnya soal plagiatisme.
Konsekuensi dari tindak plagiatisme atau pelanggaran atas academic honesty sangat berat. Jika terbukti melakukan plagiatisme, misalnya, mahasiswa atau alumnus dapat dikeluarkan dari perguran tinggi atau ijazahnya tidak diakui. Oleh karena itu, harga diri sebuah perguruan tinggi itu dijaga oleh para mahasiswa dan alumnusnya.
Sementara di University Texas, martabat perguruan tinggi dibangun melalui tradisi collegiate terutama di bidang sport yang sangat kuat. Upaya ini untuk menumbukan kebangaan dan ikatan yang kuat di antara para mahasiswa dan setelah menjadi alumnus.
“Saya kira penggunaan gosht writer itu sah- sah saja sejauh bisa dipastikan tulisan dan ide itu adalah asli dan bukan melakukan plagiat. Hanya saja, kesalahan awal yang terjadi adalah ketika para mahasiswa yang pejabat itu tidak meneliti tulisan yang dibuat ghost writer tersebut. Padahal, untuk saat ini ada teknologi canggih yang bisa mengtrace apakah hasil karya tersebut hasil tindak plagiat atau tidak. Kasus yang menimpa Anggito Abimayu saya kira bukan masalah ghost writer, tetapi kesalahannya terletak pada anggapan orang lain tidak tahu adanya tulisan sebelumnya. Itu khan urusan copy & paste, saja,” ujar anggota Kadin Indonesia itu.