KPK Surati SBY Minta Revisi KUHP dan KUHAP Dihentikan
Surat yang langsung ditandatangani Ketua KPK Abraham Samad itu berisikan permintaan pengehentian pembahasan revisi KUHP dan KUHAP
Penulis: Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK) melayanggkan surat kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait revisi KUHP dan KUHAP.
Surat yang langsung ditandatangani Ketua KPK Abraham Samad itu berisikan permintaan pengehentian pembahasan revisi KUHP dan KUHAP tersebut.
"Yang saya tahu tandatangan itu dari hari Senin (17/2/2014). Ini surat sudah disampaikan, tapi belum tahu sudah dikirim belum dicek," kata Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto melalui pesan singkatnya, Rabu (19/2/2014).
Dijelaskan Bambang, isi surat setidaknya memuat beberapa hal. Di antaranya yakni mengenai posisi KPK dalam draf revisi keduanya.
"Jadi ada dua lampiran dan satu penghantar. Isi penghantarnya itu posisi KPK terhadap revisi itu, usulan KPK, kemudian materi eksekutifnya. Minta agar revisi ini ditunda,"kata Bambang.
Juru Bicara KPK Johan Budi dihubungi terpisah membenarkan pemberian surat tersebut. Selain ke Presiden, menurut Johan Budi, surat keberatan itu dilayangkan ke DPR dan Panja DPR.
"Barusan surat yang ke presiden, pimpinan DPR, dan panja DPR, dikirim," kata Juru Bicara KPK Johan Budi, Rabu.
Bambang Widjojanto beberapa hari lalu mengatakan, KPK mengusulkan agar RUU KUHP/KUHAP dibahas oleh anggota DPR periode baru, yakni periode 2014-2019.
Dia menilai, pembahasan RUU KUHP dan KUHAP oleh anggota DPR periode saat ini tidak akan efektif mengingat masa kerja para anggota dewan yang akan berakhir dalam bebeberapa bulan ke depan. Padahal, menurutnya, daftar inventarisasi masalah terkait RUU KUHP dan KUHAP cukup banyak.
"Ada berbagai masalah sesuai kajian KPK dalam KUHP dan KUHAP padahal perlu pembahasan tuntas dan mendalam. Dalam waktu dibawah 100 hari kerja, itu tidak mungkin dapat dilakukan," katanya.
Sebelumnya, Koalisi Masyarat Anti Korupsi dan Reformasi Hukum mengindentifikasi 12 poin RUU KUHAP yang berpotensi melemahkan KPK. Kedua belas poin itu adalah dihapuskannya ketentuan penyelidikan; KUHAP berlaku terhadap tindak pidana yang diatur di luar KUHP; penghentian penuntutan suatu perkara; tidak adanya kewenangan memperpanjang penahanan dalam tahap penyidikan; masa penahanan tersangka lebih singkat; hakim dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan penyidik; penyitaan harus mendapat izin hakim; penyadapan harus mendapat izin hakim; penyadapan (dalam keadaan mendesak) dapat dibatalkan oleh hakim; putusan bebas tidak dapat dikasasi di Mahkamah Agung; putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi; serta ketentuan pembuktian terbalik yang tidak diatur dalam KUHAP.
Terkait pembahasan KUHAP, Bambang pernah menyatakan permintaannya agar DPR menghentikan pembahasan RUU tersebut.
RUU KUHAP dan KUHP diserahkan Kementerian Hukum dan HAM kepada Komisi Hukum DPR pada 6 Maret 2013. Kedua draf regulasi tersebut masuk ke dalam prioritas Program Legislasi Nasional periode 2009-2014.
Setelah menerima kedua naskah itu, DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) Pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP yang dipimpin Aziz Syamsudin, Wakil Ketua Komisi Hukum DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya, dengan 26 orang anggota dari berbagai fraksi. Panja telah memanggil sejumlah pihak terkait, kecuali KPK, untuk membahas RUU KUHAP.
Aziz mengaku mendukung penghentian pembahasan RUU tersebut lantaran Kementerian Hukum dan HAM sebagai pihak yang mengajukan draft RUU masih berselisih paham dengan para stakeholder.