Caleg Rajin ke Bawah Bisa Tekan Biaya Pemilu
Paling tidak di dapil V Jateng yang meliputi Kota Surakarta atau Solo, Sukoharjo, Klaten dan Boyolali,aroma politik uang tidak terjadi.
Penulis: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ongkos calon anggota legislatif (caleg) untuk maju dan bersaing dalam sistem pemilu proporsional terbuka berbasis suara terbanyak memang sangat besar dan persaingan pun sangat keras. Tetapi, di sejumlah daerah pemilihan (dapil), masih banyak masyarakat yang tidak mengandalkan uang atau bantuan logistik melainkan mengutamakan caleg yang dikenal dan mau menyambangi dan komunikasi dengan rakyat.
“Paling tidak di dapil V Jateng yang meliputi Kota Surakarta atau Solo, Sukoharjo, Klaten dan Boyolali,aroma politik uang tidak terjadi. Elite dan rakyat punya kesadaran tinggi untuk pemilu bersih dan berkualitas,” kata peneliti senior Akbar Tandjung Institute Dr.Agustian Budi Prasetya ketika berbicara dalam diskusi tentang pendidikan politik dan menghindari konflik yang diselenggarakan Forum Dialog Nasional (FDN) di Jakarta, Kamis (27/2/2014).
Agustian yang juga caleg Partai Golkar dari Dapil V Jateng itu mengungkapkan, dalam pengamatan dan pengalamannya terjun di dapil, beberapa daerah seperti di Mayang, Boyolali, dan Klaten, peran elitenya sangat menentukan rakyat mau mengikuti apa yang dikatakan pemimpin mereka untuk tidak mengandalkan uang melainkan figur yang berkualitas dan mau berkomuniaksi langsung dengan rakyat.
“Di Dapil V Jateng yang sering disebut dapil neraka karena banyak tokoh nasional yang bersaing di situ, merupakan anomali jika dibandingkan dengan fenomena di banyak dapil yang kebanyakan masyarakatnya mengandalkan uang dan selalu mengukur aktivitas caleg dengan uang,” ujar Agustian yang meraih doktor dengan sangat memuaskan di Fisip UI.
Pembicara lain, Viva Yoga Mauladi mengatakan, sistem proporsional terbuka yang mengharuskan setiap caleg bekerja keras di dapilnya, tidak ada hubungannya dengan politik uang. Tujuan sistem ini agar pemilu legislatif menghasilkan anggota dewan berkualitas.
Tetapi di mata Happy Bone, Ketua DPP Golkar yang juga caleg dari Jabar ini, situasi di lapangan membuat caleg sulit, sebab masyarakat umumnya melihat caleg sebagai orang yang mempunyai uang dan segalanya. “Banyak tuntutan dan juga proposal bantuan, baik untuk perbaikan jalan, masjid, dan sebagainya,” kata Happy.
Begitu juga caleg PDIP dari Riau, Dedy Sitorus, mengungkapkan pengalamannya turun di dapil yang luasnya beberapa kali luas dapil di Jawa. “Masyarakat sudah terkontaminasi dan selalu mengukur kita dengan uang. Ini harus kita perbaiki,” katanya.
Sementara itu pendiri FDN Ilham Akbar Habibie mengatakan, pendidikan politik sangat dibutuhkan dalam siklus demokrasi lima tahunan. Pendidikan politik itu tidak harus partai secara langsung, tetapi caleg yang terpilih menerapkankerja politik yang baik dan memberi contoh bagi masyaralat untuk maju dan meninggalkan hal-hal buruk.
“Kita akan terus mendorong dialog agar semua yang berkepentingan dalam pembangunan bangsa ini memberikan penyadaran kepada masyarakat untuk berkembang meraih kemajuan,” kata Ilham.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.