Keterwakilan 30 Persen di Parlemen Tak Menjamin Penyelesaian Persoalan Perempuan
Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) mempertanyakan apakah pesta demokrasi yang hendak disukseskan sebagai jalan mewujudkan
Penulis: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kongres Muslimah Indonesia baru saja berlangsung tanggal 7 hingga 9 Maret 2014 di Bogor. Forum yang dihadiri oleh perwakilan 32 ormas ini salah satunya membahas perlunya keterwakilan yang signifikan di Parlemen.
Ketua Panitia Kongres Welya Safitri mengungkapkan bahwa perempuan adalah instrumen pertama dan utama yang sangat berperan sebagai agen perubahan, termasuk dalam perubahan politik.
Hal senada diungkapkan oleh Linda Gumelar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP&PA). Menurut Linda keterwakilan perempuan minimal 30 persen di Parlemen akan menjadi jalan bagi terwujudnya regulasi yang berpihak pada kepentingan perempuan.
Oleh kalangan gender kuota 30 persen perempuan di parlemen dijadikan sebagai prasyarat untuk membangun kesejahteraan perempuan. Dengan itu perempuan akan dapat membuat keputusan yang berpihak kepada kepentingan mereka. Semakin banyak proporsi di parlemen semakin besar peluang menghasilkan UU pro perempuan.
Namun benarkah itu?
Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) mempertanyakan apakah pesta demokrasi yang hendak disukseskan sebagai jalan mewujudkan kuota perempuan di Parlemen tersebut bisa menjamin terwujudnya sebuah kondisi lebih baik bagi bangsa ini ataukah justru sebaliknya.
Juru bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, Iffah Ainur Rochmah menyatakan persoalan penting saat ini bukanlah soal sistem demokrasi yang belum berjalan normal bahkan ideal. Sebaliknya setelah demokrasi dipraktikkan nyaris sempurna di negeri ini, cacat dan kerusakan demokrasi semakin nyata tak bisa ditutupi. Mekanisme demokrasi membutuhkan biaya besar dan mahal hanya untuk menghasilkan satu produk perundangan. Waktu yang dibutuhkan untuk menelorkan UU tersebut juga sangat panjang karena harus mengkompromikan sekian banyak kepentingan.
"Bukan hal yang aneh bila aturan yang mengandung kebenaran hakiki dari al Khaliq akan kalah dibanding hasil kompromi mereka yang duduk di parlemen. Maka kuota 30 persen perempuan hanya akan menjadi fatamorgana bagi penyelesaian masalah perempuan," ungkap Juru bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, Iffah Ainur Rochmah dalam keterangannya kepada Tribunnews.com, Rabu (12/3/2014).
Setelah puluhan tahun menerapkan demokrasi, menurut Iffah kehidupan masyarakat di negeri ini tak kunjung berubah menjadi lebih baik. Sebaliknya semakin buruk dan menuju kehancuran, termasuk kondisi kaum perempuan.
Angka Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) semakin tinggi, kesejahteraan makin jauh dari jangkauan, bahkan kaum perempuan tereksploitasi secara fisik dan finansial. Lebih dari itu, semakin rendah jaminan pemenuhan kebutuhan dasar dan layanan publik berkualitas dan gratis dari negara.
"Diantaranya nampak dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang hakikatnya adalah asuransi kesehatan yang dipaksakan untuk dibeli oleh rakyat. Demikian pula BBM dan Tarif Dasar Listrik yang terus melangit harganya.
Sesungguhnya inilah karakter sejati pemerintahan demokrasi yang berbasis paham kebebasan, yang tidak mengenal tanggung jawab penuh dalam melayani publik," jelas Iffah.
Iffah menilai, seruan pemberdayaan politik perempuan menjelang pemilu saat ini hanyalah jargon pemberdayaan palsu karena berkonsentrasi memanfaatkan potensi perempuan elit sekedar untuk memenuhi jumlah keterwakilan 30 persen tanpa pembekalan berarti terhadap aktivitas politik itu sendiri.
Sedangkan kaum perempuan di akar rumput hanya dijadikan tambang suara bagi kemenangan kepentingan tertentu, minim keberpihakan pada persoalan perempuan apalagi kondisi bangsa.
"Potensi yang dimiliki oleh kaum perempuan kesempatan dan dinamisnya semestinya diarahkan untuk mengajak umat menyadari bahwa pangkal persoalan kehidupannya adalah penerapan sistem demokrasi yang rusak dan merusak. Juga menyadari bahwa kuota 30 persen perempuan di parlemen maupun banyaknya jumlah perempuan di ranah eksekutif tidak bisa menjamin penyelesaian masalah perempuan selama sistem demokrasi masih menjadi pijakan," ungkapnya.
Karena itu menurut Iffah, sebagai agen perubahan hendaknya kaum perempuan menyadari bahwa perubahan mendasar hanya ada pada sebuah perjuangan hakiki yaitu “melanjutkan kembali kehidupan Islam” dalam bingkai Khilafah. Karena hanya sistem Islam lah yang akan membawa harapan baru dan perubahan sejati bagi bangsa ini. Sistem pemerintahan Islam dalam wujud Khilafah Islamiyah akan menjamin terwujudnya kesejahteraan dan keberkahan dari langit dan bumi bagi bangsa ini.
"Sebagaimana firman Allah SWT: Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan (Q.S. Al-'Araf:96)," ujar Iffah.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.