Hadi Poernomo, Skandal BLBI dan BCA
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Badan Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus korupsi pajak PT BCA
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus yang menjerat mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo bukanlah perkara yang tergolong baru.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Badan Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus korupsi pajak PT BCA.
Hadi ditetapkan menjadi tersangka dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Periode 2002-2004. Lalu seperti apakah Bank Central Asia sehingga KPK kemudian menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka?
Berikut ini sekelumit kilas balik kasus-kasus yang pernah ada di BCA dikutip dari berbagai sumber:
Diketahui pada tahun 1998 silam, BCA pernah dinyatakan sebagai Bank Take Over (BTO) karena mengalami kerugian fiskal sebesar Rp 29,17 triliun. Langkah rekapitulasi juga sudah pernah dilakukan sehingga pemerintah saat itu menguasai 92,8 persen saham BCA.
Dengan jual beli tersebut maka hasil recovery dan penjualan atau restrukturisasi kredit terkait, telah menjadi milik BPPN sepenuhnya dan bukan lagi melekat di BCA.
Sesuai Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 117 Tahun 1999 dan Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, BCA dapat menggunakan kerugian fiskal tersebut sebagai kompensasi kerugian (tax loss carry forward) yang berlaku selama 5 tahun.
Artinya, BCA dapat menggunakan kompensasi kerugian tersebut terhadap keuntungan yang diperoleh mulai dari 1999 hingga 2003 dalam menghitung kewajiban pajaknya.
Langkah BCA kemudian masuk pantauan Ditjen Pajak. Pada 6 September 1999 dan 18 September 2002, Dirjen Pajak melakukan pemeriksaan. Hasilnya, ada beberapa koreksi-koreksi terutama terkait dengan penjualan aset/pinjaman yang terafiliasi atau macet kepada BPPN.
Atas hasil koreksi tersebut, pihak BCA menerima dan sebagian lagi diajukan keberatan kepada Kantor Pajak. Dari keberatan yang diajukan, sebagian telah mendapatkan persetujuan dari Dirjen Pajak dan sebagian lagi tidak memperoleh persetujuan.
Dari bagian yang tidak disetujui untuk tahun pajak 1998, pihak BCA telah mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Dan, pengadilan telah menerima banding tersebut. Selanjutnya, Dirjen Pajak telah menerbitkan penetapan sebagai pelaksanaan putusan pengadilan tersebut, sehingga tax loss carry forward Bank BCA menjadi Rp 22,2 triliun dari posisi semula Rp 29,17 trilliun.
Setelah digunakan sebagai Kompensasi Kerugian, pada akhir 2003 BCA masih memiliki sisa tax loss carry forward sebesar Rp 7,81 triliun. Sisa tersebut tidak dapat digunakan lagi setelah tahun 2003 karena melebihi waktu 5 tahun. Namun pihak BCA pada waktu itu tidak menyampaikan apakah tax loss carry forward sebesar Rp 7,81 triliun itu sudah diselesaikan atau belum.
BCA juga diduga telah melakukan penggelapan pajak atas transaksi penjualan kredit bermasalah. Akibat aksi ini ditengarai negara mengalami kerugian sebesar Rp 5,5 triliun dalam tiga tahun.
Kasus ini dipicu setelah muncul kebijakan dari Dirjen Pajak pada waktu itu Hadi Poernomo pada 2004 lalu. Kala itu, Hadi menyetujui permohonan BCA untuk mengesahkan transaksi penjualan triliunan rupiah kredit bermasalah dengan harga Rp 10 juta saja.
Selain melakukan transaksi penjualan kredit bermasalah dan penghapusan pajak, pemerintah juga selalu menganakemaskan BCA dari jerat hukum. Salah satunya soal kasus BLBI yang ada di BCA tidak pernah tersentuh. Artinya, pemerintah selalu melindungi bank tersebut. Atas tindakan tersebut, diduga pemerintah mengalami kerugian cukup besar.
Jadi, bukan hanya penghapusan pajak saja yang terjadi di BCA. Tapi, kerugian negara akibat menyelamatkan BCA pun nilainya cukup besar.
Skandal BLBI dan BCA
Masih ingat soal skandal BLBI? Skandal ini bermula dari niat pemerintah saat itu yang ingin menyelamatkan BCA dari rush akibat krisis moneter. Seperti diketahui, saat itu BCA masih menjadi milik Lim Swie Liong dan keluarga Cendana. Agar tak kentara, BLBI diberikan tak hanya pada BCA, tapi pada 47 bank lain yang dianggap tidak sehat waktu itu, sesungguhnya yang ingin diselesaikan BCA, namun disamarkan.
Masalah berlanjut ketika IMF menekan pemerintah untuk memberlakukan Master Settlement Aqcuistion Agreement (MSAA) lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN. Metode MSAA ini belakangan ternyata lebih banyak menguntungkan pihak konglomerat yang menikmati BLBI.
Pada saat masalah BLBI ini dibawa ke DPR, ternyata tak membuahkan hasil apa-apa. Hasilnya, masalah BLBI ‘digantung’ hingga presiden berganti dari Abdurrahman Wahid ke Megawati.
Disinyalir hampir seluruh partai politik peserta pemilu 2009 telah menerima bantuan dana kampanye dari para obligor BLBI dengan syarat ketika berkuasa nanti tak mengutik-utik skandal BLBI.
Untuk diketahui, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami masalah.
Banyak bank di Indonesia yang alami kesulitan likuiditas pada saat krisis moneter 1998 di Indonesia. BI kucurkan BLBI ke bank-bank tersebut.
Skema BLBI ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis moneter .
Sampai dengan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Audit BPK terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun.
Meski negara kucurkan BLBI Rp 56.5 Triliun ke BCA dan BCA disita negara, namun pemeintah hanya laku menjual BCA sebesar 5 triliun saja.
Kita lihat saja apakah kasus yang menjerat mantan Ketua BPK Hadi Poernomo ini akan menjerat para konglomerat hitam penerima dana BLBI, karena kaitannya dengan BCA, kita lihat saja nanti perkembangannya.