PDIP Bersama Buruh akan Demo Tolak Kenaikan Tarif Dasar Listrik
Anggota Komisi IX DPR RI FPDIP Rieke Diah Pitaloka bersama beberapa asosiasi buruh menolak kenaikan tarif dasar listrik (TDL)
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI FPDIP Rieke Diah Pitaloka bersama beberapa asosiasi buruh menolak kenaikan tarif dasar listrik (TDL) bagi industri yang akan berlaku mulai Mei 2014 ini.
Kenaikan tarif TDL dianggap akan berdampak luas bagi masyarakat seperti kenaikan harga-harga yang secara otomatis berdampak pada sulitnya kehidupan perekonomian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagainya.
Apalagi perbaikan nasib pekerja/buruh tidak bisa menafikan kondisi industri, terutama industri nasional atau BUMN.
“Tak bisa dijadikan alasan pemerintah yang tidak mampu membiayai industri lalu menaikkan TDL industri, maka kenaikan TDL itu bukan kebijakan yang tepat, dan bahkan membahayakan industri nasional, yang pada akhirnya akan memberikan dampak ‘efek domino’ terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok, yang justru akan makin menyengsarakan rakyat,” kata Rieke Diah Pitaloka pada wartawan di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (29/4/2014).
Dengan demikian menurut Rieke, pada hari buruh 1 Mei 2014 ini saat yang tepat bila buruh dan pekerja bersama rakyat menolak kenaikan TDL bagi rumah tangga maupun industri.
“Kenaikan harga energi tidak boleh menjadi solusi atas ketidakmampuan pemerintah mengelola energi nasional untuk kepentingan rakyat dan bangsa. Yang harusnya dilakukan adalah memperbaiki manajemen pengelolaan energi, memberantas mafia minyak, gas, dan listrik,” ujarnya.
Sementara itu tuntutan buruh/pekerja adalah adanya kepastian kondisi kerja yang berkeadilan.
Itu kata Rieke, harus menjadi politik tetap negara, terutama pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja melalui industrialisasi yang mampu menciptakan dan memeratakan kesejahteraan.
“Pemerintah harus menghapuskan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang merupakan praktek perbudakan modern,” tambahnya.
Selain itu, pemerintah harus menjamin kemerdekaan dan kebebasan bergerak pada organisasi buruh dan pekerja.
Di mana pemerintah harus menjauhkan segala sikap dan tindakan yang dapat diartikan membatasi hak-hak asasi dari gerakan buruh.
Juga wajib mengikhtiarkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan membangun sistem perundingan yang berkeadilan sampai membangun sistem peradilan yang mampu meningkatkan kualitas hubungan industrial.
“Harus menjamin terhadap jam kerja yang manusiawi dan meningkatkan keselamatan kerja,” kata Rieke.
Rieke juga meminta perundang-undangan dan peraturan menyangkut tenaga kerja perlu segera dibuat, direvisi, dan dibangun sistem implementasi yang tidak berbelit-belit, transparan, disertai dengan sanksi hukum yang adil pada siapa saja yang melanggar.
Di mana smeua perangkat hukum ketenagakerjaan harus dipatuhi bukan saja oleh pekerja dan pemberi kerja di sektor swasta, tapi juga BUMN.
Misalnya UU sistem dan komite pengawas ketenagakerjaan, sistem pengupahan dan perlindungan upah, tenaga kesehatan, perlindungan pekerja rumah tangga, perlindungan pekerja media.
Sedangkan UU yang harus direvisi antara lain UU ketenagakerjaan, penyelesaian hubungan industrial, penempatan dan perlindungan tenaga kerja di luar negeri, dan aparatur sipil negara.
“Jadi, gerakan buruh ini harus menjadi gerakan politik untuk mendorong lahirnya kebijakan politik ketenagakerjaan yang melahirkan perbaikan hidup buruh. Bukan untuk menuver politik dengan target kekuasaan politik bagi elit-elit buruh,” ujarnya. (Aco)