Presiden Panggil Chairul Tanjung dan Hatta Rajasa ke Istana
Presiden SBY memanggil Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Chairul Tanjung (CT) dan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Chairul Tanjung (CT) dan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (16/5/2014).
Hatta Rajasa tiba lebih dahulu sebelum CT ke kompleks Istana Kepresidenan. Sekitar pukul 13.40 WIB Hatta tiba, sedangkan CT sekitar pukul 13.45 WIB.
Hatta hadir menggenakan batik warna biru. Sedangkan CT memakai batik warna cokelat muda.
Ketika ditanya wartawan apakah kehadiran CT terkait akan menggantikan posisi Hatta menjadi Menteri Kordinator Bidang Perekonomian (Menkoperek)? CT masih enggan menjawab.
"Kita lihat saja nanti. Nanti dulu ya, biar saya ketemu Presiden dulu. Kalau sudah ketemu Presiden, isinya saya beritahukan. Pasti akan saya sampaikan apapun hasil pertemuannya," tuturnya sembari berjalan menuju kantor Presiden.
Sementara itu, hal yang sama juga ditanyakan awak media kepada Hatta, mengenai siapa penggantinya di Kantor Kementerian Kordinator Perekonomian.
"Lihat saja nanti siapa yang datang setelah saya siapa. Itu yang diundang Presiden," ujarnya.
Chairul Tanjung dikabarkan kuat akan menjadi pengganti Hatta. Namun, belum ada pernyataan resmi dari Istana. Juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha memilih menjawab secara diplomatis soal beredarnya kabar penggantian itu.
“Itu hak prerogatif Presiden. Saya belum ada informasi mengenai itu,” kata Julian beberapa waktu lalu.
Sebagaimana diketahui, Hatta pada Rabu (13/5/2014) lalu, sudah bertemu dengan Presiden didamping bakal capres Partai Gerindra Prabowo Subianto. Di dalam pertemuan itu, Hatta menyampaikan pengunduran diri sebagai menteri karena hendak maju sebagai bakal calon wakil presiden mendampingi Prabowo.
Mundurnya Hatta dari jabatan Menko Perekonomian itu mengikuti ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam Pasal 6 UU tersebut, pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mundur dari jabatannya.