Tujuh Persoalan Utama Bangsa Mengadang Presiden Mendatang
Ada tujuh persoalan utama yang mengadang presiden terpilih. Persoalan ini harus diselesaikan secara terintegrasi dalam konteks NKRI pasca Reformasi.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, TANGERANG - Ada tujuh persoalan utama yang mengadang presiden terpilih. Persoalan ini harus diselesaikan secara terintegrasi dalam konteks NKRI pasca Reformasi.
Selain itu, jika nasionalisme ingin dibangkitkan, nilai itu harus mulai dibangun dengan cara yang sederhana, mudah dilakukan meski juga membutuhkan pengorbanan yang tidak ringan.
Demikian diungkapkan Konsultan Komunikasi Politik, AM Putut Prabantoro dalam diskusi “Membangun Indonesia Jalan Baru Jokowi-JK”, di Pondok Kebangsaan Karang Tumaritis, Tangerang, Minggu (25/5/2014).
Menurut Putut Prabantoro, ke-7 persoalan itu adalah merevitalisasi otonomi daerah, kepolisian serta penyelesaian konflik, kedaulatan laut Indonesia, ketahanan pangan, migas dan kekayaan alam lainnya, pembangunan ekonomi melalui perdagangan antar pulau dan karakter bangsa.
Persoalan-persoalan itu dilihat dari pembangunan seutuhnya “Rumah Indonesia” pasca-Reformasi, yang oleh Putut Prabantoro, harus berpondasi Pancasila, beratapkan NKRI dan yang ditopang oleh 4 (pilar) yakni Bhinneka Tunggal Ika, Ekonomi Gotong Royong, Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan UUD 1945 (Mukadimah) sebagai pilar tata kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.
Dijelaskannya, persoalan itu adalah akibat negatif penyimpangan pelaksanaan Otonomi Daerah yang menghasilkan konflik batas wilayah, perebutan sumber ekonomi, konflik kelompok mayoritas vs minoritas, kembalinya sentimen sejarah masa lalu dan penguasa daerah yang korup.
“Spirit nasionalisme Indonesia bergeser dari nasional ke lokal. Jika bicara nasionalisme yang nasional harus melihat nasionalisme yang lokal. Konflik horizontal pada tahun 2009 -2013 menyadarkan kita, adanya pergeseran tersebut dan melahirkan pemahaman baru tentang NKRI. Konflik itu harus diselesaikan melalui local wisdom dan bukan national wisdom. Penyelesaian konflik di Lampung, Kalbar, Pulau Tarakan, Kaltim, Lombok berbeda karena lahirnya nasionalisme yang lokal tadi,” ujar Putut Prabantoro, yang juga Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa).
Sehingga, NKRI pasca-Reformasi harus dibangun mulai dari masing-masing daerah dengan pendekatan local wisdom. Akibatnya adalah, polisi harus mengubah doktrin penyelesaian konflik dengan lebih melakukan pendekatan sejarah dan local wisdom (budaya).
Untuk menaklukan Aceh, sebagai contoh, penjajah Belanda mengirim antropolog, Snouck Hugronye dan pola semacam ini harus banyak dilakukan oleh Polri dan itu artinya ada perubahan cara pandang Polri terhadap nasionalisme dan konflik horizontal.
Munculnya local wisdom dan terjaminnya hubungan harmoni antar daerah otonomi akan mendorong terbangunnya sinergi pembangunan ekonomi terkait dengan ketahananan pangan, pemanfaatan bersama atas migas atau sumber daya alam lainnya secara bersama dan membuka perdagangan antar pulau karena tumbuhnya ekonomi bersama antar pulau atau daerah otonomi.
Migas, Putut Prabantoro mencontohkan, seharusnya dapat menjadi alat strategis pemersatu bangsa dan bukan sumber konflik seperti di Riau, Sumatera Selatan atau Kaltim.
Mengutip gagasan Raden Priyono, Kepala BPMigas pada waktu itu, yakni mengikutsertakan daerah non-penghasil migas dalam ekploitasi di daerah penghasil melalui pembelian saham BUMD setempat. Ini dapat menjadi salah satu solusi pencapaian kesejahteraan bersama seperti yang diamanatkan UUD 1945 pasal 33. Hal yang sama juga dapat dilakukan untuk sumber-sumber ekonomi yang lain.
“Oleh karena itu, selain migas, Indonesia juga harus menguasai lautnya yang kaya dengan merevitalisasi seluruh departemen terkait dengan laut. Indonesia harusnya memiliki satu lembaga dengan banyak tugas untuk mengurus lautnya seperti negara kepulauan lain. Jika peraturan laut masih tumpang tindih seperti sekarang ini, jangan harap bangsa Indonesia berdaulat atas lautnya,” ujarnya.
Hanya saja, menurut konsultan komunikasi politik itu, keenam hal ini tidak mungkin akan dijalankan jika bangsa Indonesia tidak memiliki karakter atau jati dirinya, yang dimulai dari pendidikan sekolah dan menghargai budaya daerah sebagai kekayaan nasional.
Selain itu, bangsa Indonesia harus menegaskan kembali bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan dan bukan bahasa pergaulan yang dapat digantikan oleh bahasa lainnya semaunya sendiri.
PEMIMPIN BARU
Sementara itu, Budie Arie Setiadi (Ketua PROJO Nasional), yang juga hadir sebagai pembicara, menegaskan bahwa Indonesia pada saat ini berada dalam 5 kehancuran yakni kehancuran sistem pemerintahan, kehancuran budaya, ketimpangan keadilan sosial yang menyolok antara pusat – daerah, antara daerah otonom dan antargenerasi, kekacauan sistem hukum serta struktur penguasaan ekonomi yang liberal.
Kehancuran Indonesia terutama disebabkan oleh kehancuran hukum dan sistemnya. Indikasi adanya kehancuran hukum, menurut Budi Arie, adalah tumpang tindihnya perundang-undangan yang dihasilkan. “Jika peraturannya sudah tumpang tindih, maka sudah bisa dipastikan pelaksanaannya pun akan kacau balau dan kepastian hukumnya diragukan.” Ujar Budi.
Untuk menghindarkan Indonesia dari kehancuran lebih dalam, Budi Ari menyatakan bahwa pemimpin yang harus muncul adalah tokoh yang mampu menyatukan Indonesia. Namun untuk menyatukan Indonesia, pemimpin itu harus dipercaya dengan mendapat legitimasi dari rakyat Indonesia.
Dengan modal kepercayaan dari rakyat, pemimpin yang dimaksud harus bebas bergerak dan memutuskan demi masa depan Indonesia yang gemilang. Oleh karena itu, calon tersebut harus terbebas dari beban masa lampau, terbebas dari conflict of interest.