Seri Revolusi Mental (5): Rakyat dalam Ekonomi Kerakyatan
Kreatifitas dalam mengartikulasi dan memanfaatkan komitmen pemerintah dalam skala makro, untuk mengembangkan perekonomian dari level yang sangat mikro
72.000 desa tercatat di Indonesia, namun 30.000 diantaranya adalah desa tertinggal.
Geliat kampanye kedua kubu capres mengangkat isu ekonomi kerakyatan ke permukaan. Bagaimana sesungguhnya konsep ekonomi kerakyatan itu sendiri? Telaah dalam opini ini diharapkan dapat membuka pandangan kita, rakyat Indonesia, seperti apa ekonomi kerakyatan itu.
Bukan lagi bualan ide-ide besar yang dapat dijual di tengah masyarakat hari ini, tapi bagaimana cara ide tersebut diimplementasikanlah yang saat ini menjadi pertanyaan besar. Tentu alokasi anggaran dibutuhkan, tapi apakah benar anggaran dalam jumlah besar adalah satu-satunya hal yang dibutuhkan? Lalu bagaimana dengan pengelolaannya? Jika yang akan dijalankan ini adalah ekonomi kerakyatan, maka, dimana rakyat dapat berperan?
Ekonomi kerakyatan adalah perekonomian yang menjadikan rakyat di berbagai lapisan maupun daerah berperan sebagai pelaku ekonomi yang produktif dan berdaya saing. Tentu kelihaian membaca potensi daerah kemudian menjadi penting dalam hal ini, yakni untuk memacu kegiatan perekonomian mulai dari skala daerah.
Potensi Isu Global
Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh rakyat ini dapat dilihat dari struktur pemerintahan yang ada, yakni dari tatanan desa, daerah-daerah tertinggal yang kemudian diangkat hingga tatanan kota. Sehingga terciptalah supply dan value chain dari produk yang dihasilkan di pedesaan. Namun, bagaimana kondisi tersebut dapat diwujudkan?
Kreatifitas dalam mengartikulasi dan memanfaatkan komitmen pemerintah dalam skala makro, untuk mengembangkan perekonomian dari level yang sangat mikro. Seperti komitmen global pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada tahun 2020 hingga angka 26%. Komitmen tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbuat sesuatu terkait aksi-adaptasi perubahan iklim, dengan juga memanfaatkan isu global dan komitmen pemerintah tersebut untuk meningkatkan perekonomian rakyat.
Siapa yang paling rentan terhadap perubahan iklim? Adalah desa-desa di wilayah pesisir dan puluhan ribu pulau-pulau kecil yang tersebar di Indonesia yang rentan akan kenaikan permukaan air laut. Belum lagi perubahan panen yang disebabkan oleh perubahan iklim tersebut.
Konektivitas antar-desa dan konektivitas desa ke kota, terutama desa-desa tertinggal di Indonesia, menjadi pokok permasalahan penting yang harus segera diselesaikan. Jika konektivitas terjadi, komunikasi pun akan lebih mudah terjalin. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan daerah-daerah maupun desa tertinggal tersebut pun dapat kemudian dapat mengoptimalkan potensi ekonomi sumber daya mereka, bahkan hingga pengembangan pariwisatanya.
Lalu, bagaimana menghubungkan isu global perubahan iklim dengan ekonomi kerakyatan?
72.000 desa tercatat di Indonesia, namun 30.000 diantaranya adalah desa tertinggal, dengan penduduk lebih dari 50 juta di dalam desa-desa tertinggal tersebut. Langkah awal yang dapat dilakukan untuk mengangkat ketertinggalan desa-desa tersebut adalah dengan melakukan elektrifikasi, dengan mengaitkannya ke dalam wacana perubahan iklim global, yaitu melalui penyediaan energi terbarukan. Jangan dulu berbicara mengenai gas alam, angin dan hidrotermal yang membutuhkan investasi besar, serta belum tentu cocok dengan kondisi fisik di setiap daerah.
Gasifikasi
Gasifikasi, merupakan upaya membangkitkan listrik dari limbah biomassa yang dibakar untuk menghasilkan gas, dan dihubungkan ke generator untuk bisa menghasilkan listrik. Caranya adalah dengan mulai menanam pohon. Desa di kawasan pesisir dapat memanfaatkan tempurung kelapa, sabut kelapa, termasuk batangnya. Di lokasi desa yang lain, bisa memanfaatkan limbah biomassa yang berasal dari pohon apa saja.
Dari segi bisnis pun menarik, jika di sebuah daerah terpencil harga listrik yang dihasilkan dari genset yang menggunakan solar dapat mencapai Rp. 4.000/kWh, maka dengan memanfaatkan teknologi gasifikasi harga listrik dapat mencapai Rp. 1.900/kWh. Di lain pihak, emisi gas rumah kacanya pun paling rendah, limbah biomassa pun dapat dimanfaatkan.
Mulai dari membangun pembangkit listrik di dekat sekolah maupun Puskesmas terlebih dahulu. Bayangkan jika di sana bisa mendapatkan akses internet selama 24 jam. Artinya, ada akses informasi karena kehadiran listrik. Mulai dari mengetahui cara menanam cabe yang baik, menanam padi dan mengendalikan hamanya. Selanjutnya masyarakat desa tersebut juga bisa mendapatkan informasi, berapa sesungguhnya harga cabe yang ia tanam, di tengah kota, mereka bisa melakukan perbandingan.
Sedangkan untuk masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, value chain dapat mereka ciptakan dari ketersediaan listrik. Yakni dengan memproduksi es batu untuk mengawetkan hasil tangkapan laut mereka. Tangkapan laut bisa dijaga kesegarannya, bisa dikemas, dan dikumpulkan dalam waktu tertentu sebelum dijual ke pasar. Sehingga tidak lagi bergantung pada teknologi yang hanya bisa dimiliki tengkulak dan pemodal besar, para nelayan bisa menghasilkan nilai tambah dari tangkapannya sendiri. Tidak lagi hanya dengan cara dikeringkan saja, di mana nilai tambahnya sangat kecil.
Untuk pengembangannya, pembangkit listrik ini dapat ditunjang melalui perluasan area penanaman pohon. Contohnya dengan menanam Kaliandra –jenis tanaman yang mampu tumbuh dimana saja dan tahan cuaca ekstrim, tumbuh dalam kurun waktu 2 tahun, dan dapat terus-menerus dipanen. Lahan dengan luas minimal 2 hektar yang ditanami Kaliandra dapat menghasilkan listrik sebesar 10.000 watt, dengan hitungan kasar 1 kg kayu kering setara dengan 1 kWh.
Dari, Oleh dan Untuk Rakyat
Jika di desa-desa tersebut terdapat lahan kritis, maupun lahan bekas tambang, konsep ini bisa diimplementasikan dengan memanfaatkan lahan-lahan tersebut. Implikasinya, listrik yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk pembangunan desa itu sendiri, seperti internet untuk akses informasi, pompa air, charging aki, dan lain sebagainya. Terlebih dari itu, bengkel-bengkel akan berkembang, dan kembali lagi, mengurangi emisi gas rumah kaca dari pohon-pohon yang ditanam.
Tenaga kerja di desa-desa tersalurkan tanpa harus melakukan urbanisasi, kapasitas area rural pun membaik, itulah solusinya. Berkarya di desa, dengan tetap memperluas konektivitas bahkan hingga ke seluruh dunia. Maka, ekonomi kerakyatan pun jelas tidak hanya bergantung pada anggaran besar yang ditawarkan, tapi juga pada perihal bagaimana cara pengelolaannya, itu hal utama.
Kenyataannya, tidak semua kepala dinas di daerah-daerah dapat membelanjakan anggaran daerahnya dengan baik. Pengelolaan ini bukan hal mudah, maka dari itu perlu diberi percontohan dan pendampingan. Dimulai dari pengadaan akses listrik dan informasi sebagai infrastruktur dasar, masyarakat pun kemudian dapat melakukan adaptasi akan keadaan berbagai aspek kehidupannya di sana. Kapsitas masyarakat meningkat, kemampuan individu maupun kelompoknya meningkat, melalui energi terbarukan yang ada di sana.
Selain itu, untuk menjaga keberlanjutannya, program semacam ini juga harus menjadi bagian yang terintegrasi dengan program pemerintah lainnya, seperti internet masuk desa, program-program pengembangan UKM, dll. Integrasi tersebutlah yang akan menciptakan keberlanjutan. Sementara itu, untuk menghemat APBN, anggaran dapat diperoleh dari program CSR perusahaan-perusahaan, maupun dana dari komitmen global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Apakah realistis? Ya, jika program semacam ini dilaksanakan oleh pemimpin yang mampu bekerja dengan mewujudkan keterpaduan antar lini. Terkait, terpadu, tidak hanya bekerja secara sektoral saja. Pemimpin yang mampu turun, melihat dan mengintegrasikan berbagai sektorlah yang dapat melakukan ini. Ekonomi yang pro-rakyat, energi yang pro-rakyat, lingkungan yang pro-rakyat, dan bisnis yang pro-rakyat (Anindita Taufani – Mahasiswi Program Magister Studi Pembangunan ITB, twitter @anindtaufani). (Advertorial)