Bupati Karawang Sakit Hati Disangka Memeras Anak Perusahaan Agung Podomoro
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperpanjang masa penahanan Bupati Karawang, Ade Swara dan istrinya Nurlatifah, Selasa (5/8/2014).
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperpanjang masa penahanan Bupati Karawang, Ade Swara dan istrinya Nurlatifah, Selasa (5/8/2014).
Keduanya menyandang status tersangka kasus dugaan korupsi berupa penerimaan suap dengan memaksa terkait pengurusan izin Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan Hidup PT Tatar Kertabumi Karawang, Jawa Barat.
Pasangan suami istri (pasutri) tersebut memenuhi panggilan pemeriksaan dalam waktu hampir bersamaan sekitar pukul 09.45 WIB. Mereka hadir di kantor KPK, diantar mobil tahanan.
Ade dan Nurlatifah menjalani pemeriksaan singkat hanya sekitar dua jam. Usai diperiksa, Nurlatifah hanya menebar senyum dan enggan berkomentar jauh soal kasusnya.
Komentar justru terlontar dari Ade Swara. Selepas merampungkan pemeriksaan, dia mengaku sakit hati soal sangkaan pemerasan yang ditetapkan KPK.
"Itu yang saya sangat sakit hati, demi Allah tidak (memeras)," kata Ade.
Namun Ade yang mengenakan rompi tahanan KPK enggan mengomentari lebih jauh saat ditanya mengenai dugaan pemerasan yang dilakukannya terhadap PT.Tatar Kertabumi. Begitu juga ketika dikonfirmasi soal dugaan perusahaan itu melakukan penyuapan.
"Itu yang silakan saudara-saudara cari tentang itu, saya tidak bisa bicara tentang ini karena masih proses ya, saya yakin KPK akan menjalankan tugas dengan baik secara berkeadilan," ujarnya.
Mengenai dugaan keterlibatan sang istri yang juga sudah ditetapkan tersangka oleh KPK, Ade lagi-lagi menyatakan ketidaktahuannya. Ia hanya menyatakan tidak menyuruh istrinya memeras PT Tatar Kertabumi.
"Kalau istri saya terlibat ya saya tahu di sini, kalau dikatakan saya menyuruh istri saya, demi Allah saya katakan tidak," kata Ade.
Meski begitu Ade tak membantah adanya pengajuan mall di wilayah yang dipimpinnya pada tahun 2013 lalu. Dia mengungkapkan, sepengetahuannya, status lahan 'dikuasai' oleh anak perusahaan PT Agung Podomoro tersebut.
"Yang saya tahu lahan milik mereka, saya tidak tahu kalau itu lahannya bermasalah," kata Ade.
Namun pengajuan itu terhenti merujuk hasil kajian Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) lantaran berdirinya mall dinilai berpotensi menimbulkan kemacetan.
"Saya lupa, seingat saya 2013 atau berapa itu, tapi waktu itu terhenti karena hasil kajian Bappeda hampir semua dinas terkait kurang mendukung, karena akan menimbulkan kemacetan, kalau dilihat tata ruang sesuai, tapi kalau lihat situasi yang ada di situ sudah sangat macet sekali sampai dibuatkan jembatan di sana," paparnya.
Ade mengklaim kerap berkoordinasi dengan Bappeda dan utusan perusahaan. Di antaranya mengenai pembangunan jembatan tersebut. Koordinasi itu kata Ade masih dilakukannya sesaat sebelum ditangkap KPK.
"Saya selalu bicara tentang jembatan. kepada perwakilan perusahaan saya selalu bilang, jika tidak bisa bangun secara keseluruhan dari perusahaan mari kita bangun bersama, berapa dari perusahaan dari pemerintah daerah berapa. Sampai hari terakhir saya ditangkap masih bicara itu kepada Bappeda," kata Ade. (Edwin Firdaus)