Tokoh Agama dan Akademisi: Bebas Bersyarat Hartati Batal Demi Hukum
"Kalau tidak, pembebasan bersyarat tidak bisa diberikan. Kalau akhirnya diberikan, harusnya pembebasan bersyarat itu batal demi hukum," ujar Asep.
Penulis: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemberian bebas bersyarat Kementerian Hukum dan HAM untuk Siti Hartati Murdaya, terpidana kasus suap Bupati Buol Amran Batalipu, beberapa waktu lalu menuai kritik dari tokoh agama dan para akademisi.
Mereka menolak dalih Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin yang mengatakan pembebasan bersyarat sudah sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (PP 99/ 2012).
Menilik PP 99/ 2012 justru mengatur lebih ketat hak narapidana perkara korupsi, narkotika, terorisme, kejahatan terorganisasi, dan kejahatan HAM. Artinya, ada sejumlah syarat luar biasa yang harus dipenuhi terpidana untuk memperoleh remisi atau pembebasan bersyarat.
Dalam konteks perkara korupsi, selain syarat umum penerimaan bebas bersyarat seperti kelakuan baik dan telah menjalani 2/3 masa pidananya, syarat lain yang harus dipenuhi seorang terpidana bersedia menjadi justice collaborator, dan mendapat rekomendasi aparat penegak hukum terkait, dalam hal ini KPK.
Menkum HAM menganggap syarat-syarat dalam PP 99/ 2012 tersebut bersifat alternatif, artinya keseluruhan syarat tidak harus dipenuhi seorang narapidana perkara korupsi menerima pembebasan bersyarat.
Beberapa akademisi dan praktisi hukum serta pengamat sosial menganggap pemberian pembebasan bersyarat untuk Hartati keliru dan mencederai rasa keadilan masyarakat. Dalam rilis yang diterima Tribunnews.com dari ICW, bebas bersyarat Hartati harus batal demi hukum.
Mantan hakim dan pengamat hukum Asep Iwan Iriawan misalnya. Ia menilai Amir salah kaprah menyatakan syarat-syarat dalam PP 99/ 2012 itu bersifat alternatif. Menurutnya, syarat-syarat dalam PP 99/ 2012 itu bersifat kumulatif, jadi harus seluruhnya dipenuhi terpidana.
"Kalau tidak, pembebasan bersyarat tidak bisa diberikan. Kalau akhirnya diberikan, harusnya pembebasan bersyarat itu batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat-syarat dalam PP 99/ 2012," ungkap Asep.
Akademisi FH Unpar Bandung Agustinus Pohan mengamini pernyataan Asep. Menurutnya, penafsiran Amir tidak sesuai semangat penerapan PP 99/ 2012, karena extraordinary measures (sarana khusus/ luar biasa) dari penanganan perkara korupsi menjadi tidak ada.
"Lalu apa yang membedakan narapidana perkara korupsi dengan narapidana biasa kalau dengan memenuhi 2/3 masa pidana dan kelakuan baik saja ia sudah bisa memperoleh pembebasan bersyarat?" ungkap Agustinus.
Ia menggarisbawahi pemberian bersyarat untuk Hartati sebagai pukulan mundur pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Agustinus menduga ini berhubungan dengan kiblat politik Amir sendiri yang tidak lain kader Partai Demokrat. Sementara Hartati masih tercatatsebagai kader Demokrat.
"Menkum HAM mencari tafsir yang menguntungkan Hartati karena mereka berasal dari Parpol yang sama. Hartati Murdaya adalah anggota Dewan Pembina Partai Demokrat nonaktif, dan Menkum HAM adalah politisi Partai Demokrat, bisa disimpulkan sendiri motivasi di balik pemberian bebas bersyarat itu," tegasnya.
Rohaniawan Katolik Romo Benny Susetyo lebih keras mengkritik Amir. Sikap Kementerian Hukum dan HAM memberikan bebas bersyarat untuk Hartati, membuktikan taji seorang koruptor bisa dengan mudah melenggang bebas karena memiliki lobi politik yang kuat.
"Pemberian bebas bersyarat bagi Hartati Murdaya kontraproduktif dan inkonsisten dengan semangat pemberantasan korupsi yang selama ini didengungkan Pemerintah. Kerja KPK sebagai aparat penegak hukum dinafikan hal-hal di luar fakta hukum yang ada," ujar Romo Benny.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.