Jaksa Urip Kembali Disidang di Pengadilan Tipikor
Selain itu, Urip juga menyinggung soal penerapan pasal hukum yang tidak tepat diterapkan terhadap dirinya selaku penerima suap.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang perdana Peninjauan Kembali (PK) perkara dugaan suap dan pemerasan terkait pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terpidana mantan jaksa, Urip Tri Gunawan digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selatan, Kamis (18/9/2014).
Sidang yang dimulai pukul 10:30 WIB itu beragendakan pembacakan nota permohonan PK oleh Urip di hadapan Ketua Majelis Hakim Supriyono dan dua hakim anggota Casmaya dan Muhlis.
Dalam novum atau bukti yang baru dipaparkannya, Urip menyinggung kembali soal perbedaan perlakukan didepan hukum antara dirinya selaku pemohon PK dengan terpidana yang merupakan penyuapnya, Artalyta Suryani.
Selain itu, Urip juga menyinggung soal penerapan pasal hukum yang tidak tepat diterapkan terhadap dirinya selaku penerima suap.
"Terhadap Artalyta Suryani telah di putus di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, telah terbukti melakukan tindak pidana Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Pemberantasan Tipikor. Tetapi, dalam perkara pemohon PK dikatakan sebagai penerima hadiah dengan Pasal 12 huruf b dan e UU Tipikor," kata Urip.
Menurut Urip penggunaan pasal tersebut terhadap dirinya keliru. Sebab, Pasal 5 ayat 1 huruf b tidak bisa berdiri sendiri. Melainkan, melekat pada Pasal 5 ayat 2. Sehingga, lebih tepat, terhadap dirinya dijerat dengan Pasal 5 ayat 2 selaku penerima.
Lebih lanjut, Urip juga menjelaskan soal telah terjadinya kekhilafan atau kekeliruan hakim pengadilan tingkat pertama dan kedua dalam putusannya.
Seperti diketahui, Mahkamah Agung (MA), pada tahun 2009, dalam keputusannya memang menolak permohonan kasasi yang diajukan Urip Tri Gunawan.
Dalam pertimbangannya, Ketua Majelis Hakim Kasasi, Artidjo Alkotsar menyatakan bahwa pengadilan tindak pidana korupsi pada tingkat pertama dan banding telah menerapkan hukum dengan benar.
Oleh karena itu, vonis terhadap Urip tetap sesuai dengan hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yaitu hukuman 20 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider delapan bulan kurungan.
Dalam putusan tersebut, PT DKI menolak banding Urip dan sejalan dengan keputusan pengadilan tingkat pertama yang menjatuhkan vonis 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair satu tahun kurungan.
Dalam penjelasannya, Artidjo mengatakan bahwa putusan menolak kasasi diambil dengan tiga alasan.
Pertama, terkait permohonan Urip yang meminta hukumannya disamakan dengan Artalyta Suryani alias Ayin. Menurut majelis kasasi tidak relevan menyamakan hukuman Urip dengan Ayin. Sebab, Ayin adalah swasta dan Urip adalah penegak hukum.
Kedua, terkait permintaan MA menilai hasil pembuktian. Menurut Artidjo tidak mungkin karena MA selaku judex juris tidak lagi mengurusi masalah pembuktian.
Ketiga, pendapat Urip yang menyatakan tidak ada saksi material yang melihat kuasa hukum Glen Yusuf, Reno Iskandarsyah, memberikan sejumlah uang kepadanya.
Pendapat tersebut, ditolak mentah-mentah MA karena posisi Glen Yusuf dan Reno sudah bisa dimasukan ke dalam kategori saksi.
Terhadap Urip memang dinyatakan dengan sengaja membocorkan proses penyelidikan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yaitu membocorkannya kepada Artalyta Suryani, pengusaha yang dikenal dekat dengan Sjamsul Nursalim, untuk mendapatkan imbalan.
Padahal, kasus yang tengah diselidiki tersebut diduga melibatkan pimpinan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.