Pengamat: Kepala Daerah Jangan Seperti Kacang Lupa Kulitnya
“Ingat, mereka itu dulunya kan dicalonkan dari partai, kalau tidak ada partai yang mengusulkan mana mungkin mereka bisa sekarang ini".
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pro dan kontra pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) terus bergulir.
Kendati banyak pihak menolak pemilihan kepala daerah dipilih DPRD, tapi rapat pembahasan RUU Pilkada yang menuai kontroversi itu tetap berlangsung.
Untuk diketahui, DPR telah menyiapkan 2 draft RUU Pilkada. Namun ada perbedaan mencolok di dua draft itu terutama soal mekanisme pemilihan.
Draft pertama, memuat aturan pemilihan kepala daerah secara langsung, dipilih oleh rakyat. Sedangkan draft kedua memuat aturan soal pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
Sementara ada dua kubu di pembahasan RUU Pilkada ini. Kubu fraksi pendukung Jokowi-JK, yaitu PDIP, PKB dan Hanura mendukung pilkada langsung.
Sedangkan kubu Koalisi Merah Putih yang terdiri dari Gerindra, Golkar, PPP, PAN dan PKS, mendukung pilkada lewat DPRD, sementara Demokrat telah berubah haluan dengan mendukung pilkada langsung.
Alotnya pembahasan RUU Pilkada di DPR ditanggapi beragam pihak.
Salah satu adalah Dr Holden Makmur A. Pengamat sosial, ekonomi dan politik, ini berpendapat demokrasi tidak hanya diartikan pemilu itu langsung oleh rakyat, pemilihan kepala daerah melalui DPRD yang anggotanya notabene adalah hasil pilihan rakyat juga demokrasi.
"Yang perlu dilakukan adalah ketika pemilihan kepala daerah melalui DPRD, harus pula dilakukan pengawasan bersama oleh masyarakat," ujar jebolan Filippina University ini.
Menurut Holden, pemilihan melalui DPRD tidak berarti merampas kedaulatan rakyat karena rakyat akan mengawasi DPRD dalam memilih calon kepala daerah yang akan dipilih.
Sementara itu tidak dipungkiri bahwa cost politik pilkada langsung selama ini yang tinggi hingga mengakibatkan sering terjadinya kepala daerah yang baru menjabat terjerat kasus korupsi, atau sering terjadinya KKN dengan munculnya “raja-raja” kecil di daerah yang membiayai pasangan calon yang maju pilkada, akibatnya terjadi hutang budi terhadap raja-raja kecil tersebut.
Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri hingga Januari 2014 sebanyak 318 orang dari total 524 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut dengan kasus korupsi.
“Bayangkan hampir 50 % kepala daerah terjerat kasus korupsi, jadi sudah saatnya harus ada perbaikan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) yang akan datang, kalau tidak hal ini saya yakini akan terus terjadi” jelas Holden
"Jadi, sebaiknya pemerintah bersama DPR mencari solusi terbaik bagi kelangsungan negara ini kedepan. Pemerintah dan DPR harus dapat meyakinkan rakyat bahwa RUU Pilkada benar-benar murni untuk kepentingan seluruh masyarakat tanpa ada kepentingan lainnya," tegas Holden.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.