PBHI Jakarta: Kasus Arsyad Tanggung Jawab Negara Bukan Politikus
Menurut Poltak, kehadiran Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon di kasus ini bukan hal aneh.
Penulis: Y Gustaman
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua PBHI Jakarta Poltak Agustinus Sinaga menilai kasus yang menyeret tersangka Muhammad Arsyad (23) terkait Jokowi dan Megawati sebagai korban, secara otomatis menjadi santapan politik dari berbagai pihak.
Menurutnya, kehadiran Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon di kasus ini bukan hal aneh. Fadli yang tiba-tiba muncul ditengarai memiliki muatan politis, yang seolah-olah dibalut faktor belaskasihan dan kemanusian, yang membuat kasus ini cepat merebak.
"Dalam kasus ini, pendekatan hukum yang berkeadilan menjadi rumit akibat terlalu dipolitisir, terlebih dengan kedatangan tokoh-tokoh politik seperti Fadli Zon yang tiba-tiba hadir dan peduli terhadap tukang tusuk sate," ujar Poltak dalam rilisnya, Jumat (31/10/2014).
Pengacara HAM ini mempertanyakan ke mana Fadli Zon selama ini, ketika banyak kasus masyarakat kecil yang harus dibela. Poltak berharap kasus ini bisa selesai dengan mengedepankan keadilan, dan terhindar dari politisasi dalam kasus-kasus kemanusiaan dan berkeadilan.
Proses hukum pun yang diterapkan oleh aparat kepolisian, menurut Poltak, semestinya lebih manusiawi, tanpa penahanan dan pemenjaraan yang sudah berhari-hari, yang tidak lazim dalam sebuah tahap proses pemeriksaan sebagai terduga.
"Semoga saja Fadli Zon datang ke sana tulus untuk masyarakat kecil, bukan untuk mempolitisir. Jangan sampai kehadirannya untuk kepentingan politiknya. Begitu juga dengan Kepolsian yang harus jeli dalam kasus ini," paparnya.
Poltak menambahkan, Kasus yang dialami pemuda lulusan SMP tersebut merupakan sebuah kelalaian negara dalam memberikan pemahaman hukum kepada publik. Seharusnya itu tanggung jawab negara untuk menyosialisasikan hukum.
Ada sebuah sistem dalam negara hukum yang tidak berjalan dalam pemberian pemahaman hukum kepada masyarakat dengan perkembangan hukum yang sangat dinamis tapi tidak terkonfirmasi dengan baik. Khususnya untuk masyarakat miskin dan rentan terhadap hukum.
"Kasus MA ini sebenarnya lebih pada ketidakpahaman masyarakat dan warga negara terhadap dinamika hukum khusunya masyarakat kecil dan miskin. Realitanya, di negara hukum masih banyak masyarakat buta hukum, dan ini adalah sebuah sistem negara yang tak berjalan," ucapnya.
Ia meminta negara dan Pemerintah harus bertanggungjawab atas ketidakpahaman masyarakat terhadap hukum selama ini. "Kita ini negara hukum, artinya negara wajib hadir untuk memberi pemahaman hukum itu," tegasnya.