Diperlukan UU Khusus MPR, Agar Wewenangnya Tak Sekadar Melantik dan Memecat Presiden
Diperlukan UU Khusus tentang MPR, agar wewenangnya lebih luas, bukan sekadar lembaga yang melantik dan memecat presiden.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Mantan Ketua Tim Kajian Konstitusi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Jafar Hafsah mengatakan, saat ini sudah sangat diperlukan adanya peraturan perundang-undangan khusus tentang MPR atau UU MPR, yang terpisah dari UU MD3.
Hal tersebut, kata Jafar, untuk semakin memperkuat wewenang lembaga ini agar MPR tidak hanya dianggap sebagai lembaga yang sebatas berwenang melantik Presiden dan memakzulkan Presiden dan Wakilnya, itupun melalui proses panjang yang melibatkan DPR dan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Jadi harus ada perundang-undangan tersendiri tentang MPR. Supaya memiliki wewenang lebih luas, sehingga MPR menjadi lebih kuat," kata Jafar, Selasa (16/12/2014).
Ia menjelaskan kuatnya lembaga MPR yang merupakan gabungan antara anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akan membuat sistem ketatanegaraan Indonesia makin kokoh. Dengan begitu, katanya, maka bisa berpotensi meminimalkan banyaknya kisruh di internal DPR yang selalu terjadi sekarang ini.
"Untuk itu, maka saya berharap dan mendorong adanya sesuatu untuk MPR agar lebih diperkuat," kata Jafar. Menurut Jafar, wewenang MPR idealnya tidak sebatas melantik dan memakzulkan presiden dan wakilnya dengan proses yang panjang, tetapi juga berperan meredam konflik di lembaga negara dibawahnya atau yang menjadi bagiannya.
Sehingga harus ada aturan diluar UU MD3 yang menyatakan itu dengan penerapan yang tepat, Jafar mengatakan memang dalam UU MD3 telah menyebutkan MPR memiliki fungsi tertinggi. Namun demikian, kata dia, dalam prakteknya, MPR justru sejajar atau sama dengan DPR dan DPD. "Sehingga kurang terlihat gregetnya. Disinilah makanya tidak hanya disebut memliki fungsi tertinggi, tapi harus diwujudkan lebih lanjut apa maksud fungsi lembaga tertinggi itu," katanya.
Maksud dari fungsi sebagai lembaga tertinggi itulah, kata Jafar yang harus diatur dalam UU MPR terpisah diluar UU MD3.
"Sekali lagi aturannya harus tersendiri dengan wewenang yang lebih luas, sehingga posisinya lebih kuat,"kata Jafar.
Dulu ketika era orde baru, tambah Jafar, MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang bisa dimanfaatkan memperkuat posisi penguasa saat itu.
MPR bahkan menjadi lembaga yang berwenang untuk menentukan Presiden dan Wakil Presiden RI. "MPR yakni gabungan DPR dan Utusan Daerah atau DPD bersidang menentukan sosok yang layak menjadi orang nomor satu di negeri ini," katanya. Lalu kemudian, papar Jafar, era reformasi menghendaki lembaga ini dikurangi wewenangnya.
Akhirnya tidak ada lagi wewenang MPR dalam memilih presiden dan wakilnya, namun diserahkan langsung ke rakyat dengan pemilihan langsung. Ini kata Jafar menandakan ketidakpercayaan masyarakat pada MPR dalam memilih Presiden dan Wakilnya, membuat lembaga ini dihilangkan wewenangnya dalam memilih Presiden dan Wakilnya.
Sementara saat ini, kata dia, kondisinya sudah berbeda dan MPR bisa memiliki wewenang lain yang lebih luas. "Jadi saya kira perlu dievaluasi lagi mengenai kewenangan-kewenangan yang pantas bagi MPR," katanya. (Budi Malau)