Hajriyanto: DPP Golkar Sedang Mainkan Politik Burung Unta
Politisi Golkar Hajriyanto Y Thohari melihat pengurus pusat sedang memainkan politik burung unta.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politisi Golkar Hajriyanto Y Thohari melihat pengurus pusat sedang memainkan politik burung unta. Thohari melihat Golkar sedang menutupi permasalahan yang ada.
"Burung unta itu merasa sudah tidak ada yang mengejar kalau sudah berhasil menyembunyikan kepalanya di pojok dan matanya sudah tidak melihat ada musuh. Padahal dia saja yang tidak melihat musuh. Itulah burung unta! Politik burung unta adalah politiknya orang yang pura-pura melihat ada tantangan, ancaman, dan persoalan. Politik yang suka menutup-nutupi masalah," ungkap Hajriyanto yang tidak memihak Kubu Agung Laksono maupun Kubu Ical ketika dikonfirmasi melalui pesan singkat, Senin (22/12/2014).
Pengurus Golkar, kata Hajriyanto, mengatakan tidak ada konflik dan perpecahan di partai. Yang terjadi hanya dinamika internal. Selain itu ada pernyataan kondisi PG biasa-biasa saja, tetap jalan, tidak ada persolan, yang ada itu cuma gerakan orang-orang kecewa yang ditunggangi oleh kekuatan eksternal.
"Atau pernyataan orang DPP bahwa survei LSI yang mengatakan PG terjun bebas itu adalah survei yang tidak obyektif, survei yang salah, survei bayaran untuk menghancurkan Golkar. Survei pesanan eksternal PG dan lain-lain. Burung unta itu suka menutupi dan menyembunyikan masalah," kata mantan Wakil Ketua MPR itu.
Menurut Hajriyanto, hasil survei LSI bahwa suara Partai Golkar merosot sampai 8,2 persen dengan margin error 2,9 persen itu sebaiknya disikapi secara proporsional oleh elite pemimpin di DPP Partai Golkar, baik DPP hasil Munas Bali maupun Munas Jakarta.
"Benar, hasil survei itu tidak perlu disikapi secara berlebihan seolah-olah menjadi "lonceng kematian" bagi masa depan Partai Golkar," katanya.
Tetapi, menurut Hajriyanto, sikap sinisme yang ditunjukkan oleh beberapa oknum DPP PG itu tidak mencerminkan sama sekali sikap seorang yang terpelajar. Seorang yang berpendidikan tinggi tidak begitu caranya membaca hasil survei.
"Sikap itu sangat tidak akademis dan tidak berjiwa sarjana (alias tidak scholar). Hasil survei itu mestinya disikapi secara proporsional saja sebagaimana mestinya seorang yang berpendidikan, dan kemudian diposisikan menjadi salah satu bahan pertimbangan penting untuk pengambilan kebijakan," kata Hajri.
"Bukannya malah bersikap emosional yang mengesankan mengolok-olok atau mencemoohkan lembaga survei seperti itu," tambahnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.