ICW Sarankan Jaksa-KPK Tuntut Cabut Hak Remisi Koruptor di Pengadilan
Seruan itu digencarkan karena akhir-akhir ini pemerintah kerap memberikan keringan untuk para pelaku kejahatan luar biasa tersebut.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) kembali menyerukan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat untuk para narapidana kasus korupsi.
Seruan itu digencarkan karena akhir-akhir ini pemerintah kerap memberikan keringan untuk para pelaku kejahatan luar biasa tersebut.
Selain itu, menurut Peneliti Hukum ICW Lalola Easter, saat ini juga diperlukan langkah-langkah maju dari lembaga-lembaga penegak hukum.
"Menyelesaikan polemik pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor yang selalu muncul setiap saat khususnya saat hari raya keagamaan dan hari kemerdekaan maka saat ini diperlukan langkah-langkah yang progresif," kata Lalola dalam keterangan persnya diterima Tribun, Minggu (4/1/2015).
Langkah pertama yang diusulkan ICW, kata Lalola yakni Kejaksaan dan KPK mengajukan tuntutan yang tinggi dan pidana tambahan seperti tuntutan uang pengganti kepada terdakwa, serta pencabutan hak-hak terpidana dalam mendapat resmisi dan pembebasan bersyarat di Pengadilan.
"Pengecualian atas hal ini jika terpidana merupakan justice collaborator (pelaku yang mau bekerjasama degan penegak hukum untuk membongkar kasus korupsi)," kata Lalola.
Dasar hukum Pencabutan hak ini diatur dengan Pasal 18 ayat 1 huruf d Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi, "selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP, sebagai pidana tambahan adalah pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah terhadap terpidana."
Dengan pasal tersebut, kata Lalola, maka hak-hak narapidana korupsi seperti hak remisi dan pembebasan bersyarat bisa dicabut. "Bahkan hak napi koruptor untuk dapat pensiun apabila dia pejabat publik juga bisa dicabut," ujarnya.
Kedua, saran Lalola, yakni pengadilan sebaiknya juga menerima tuntutan pencabutan hak remisi dan PB untuk koruptor yang diajukan oleh KPK atau kejaksaan. "Ini wujud dukungan bagi pengadilan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi," ujarnya.
Ketiga, sambung Lalola, pemerintah dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM dan jajaran Direktorat Pemasyarakatan harus konsisten menjalankan Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi dan PB untuk koruptor.
Artinya, terang dia, hanya koruptor berstatus justice collaborator yang berhak mendapatkan remisi atau PB.
Menkumham juga disarankan untuk mencabut Surat Edaran Menteri nomor M.HH-04.PK.01.05.06, tanggal 12 Juli 2013 yang mengatur pemberlakukan PP 99/2012.
"Surat edaran menteri ini telah menjadi biang keladi kesimpangsiuran dan kegaduhan dalam pemberian remisi dan PB untuk koruptor selama hampir 2 tahun terakhir serta masih membuka peluang koruptor untuk mendapatkan remisi dan PB," kata Lalola.
Kemudian, lanjut Dia, Presiden Jokowi sebaiknya memberikan teguran kepada Menkumham untuk tetap berkomitmen dalam upaya pemberantasan korupsi dan mendukung langkah-langkah pemberian efek jera kepada pelaku korupsi.
"Di era Jokowi seharusnya tidak boleh ada koruptor yang dapat remisi dan pembebasan bersyarat kecuali koruptor tsb berstatus JC," kata Lalola.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.