FAKSI dan TPDI: Polri Harus Kembali ke Mertoyudan
Salah satu lulusan dari SPN Mertoyudan adalah almarhum Hoegeng Imam Santosa, yang pernah menjabat sebagai Kapolri ke-5 pada tahun 1968 – 1971.
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepolisian Republik Indonesia harus kembali ke Mertoyudan, Magelang tepatnya ke Seminari Menengah St Petrus Kanisius sebagai bentuk sikap reflektif atas kejadian yang menimpa lembaga negara ini.
Seminari Mertoyudan yang merupakan tempat pendidikan para pastor atau imam (pemuka agama Katolik) pada tahun 1946 - 1948 digunakan sebagai “rumah bersalin” Sekolah Polisi Negara (SPN) yang merupakan cikal bakal AKPOL dan PTIK.
Sikap reflektif ini secara spirit diharapkan dapat membantu mengurai keruwetan yang terjadi di tubuh lembaga penegak hukum tersebut.
Salah satu lulusan dari SPN Mertoyudan adalah almarhum Hoegeng Imam Santosa, yang pernah menjabat sebagai Kapolri ke-5 pada tahun 1968 – 1971. Hingga saat ini, Hoegeng menjadi patron dari anggota polisi yang ideal.
Demikian ditegaskan oleh Koordinator Forum Advokat Pengawal Konstitusi (FAKSI), Hermawi F Taslim dan Kordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, setelah bertemu dengan Kompolnas yang diterima oleh Adrianus Meliala, M. Nasser dan Logan Siagian, dalam keterangan pers yang diterima Tribunnews.com, Selasa (10/2/2015).
Menurut Hermawi Taslim dan Petrus Selestinus, sikap reflektif ini penting untuk POLRI terkait dengan beberapa kasus yang menimpa lembaga negara itu belakangan ini.
Dalam budaya timur, orang yang mengalami masa sulit atau surut dalam satu fase kehidupannya, hingga berakibat pada suramnya masa depan atau berakibat buruk pada keluarganya, baik karena dibuat sendiri ataupun disengaja oleh pihak lain, disarankan untuk melakukan ziarah.
Laku ziarah itu biasanya ke tanah air, tanah kelahiran, tanah tumpah darah atau berziarah ke makam orang tuanya. Langkah tersebut merupakan cara bijak agar “roh kehidupan” ketika dilahirkan kembali.
“Saya kira tanpa harus melihat siapa yang sedang menghadapi masalah atau sedang bermasalah, para pimpinan POLRI sebaiknya mengadakan ziarah ke Seminari Mertoyudan untuk mendapat suntikan energi positip, mengambil kembali nilai-nilai luhur yang dulu ditanam oleh pendahulu. POLRI harus melakukan ziarah batin ke tahun 1946 saat SPN didirikan di Mertoyudan, Magelang.,” ujar Hermawi Taslim.
Berdasarkan Keputusan Mendagri No. 12/9/22 Tahun 1946, pada 17 Juni 1946 didirikanlah Sekolah Kepolisian Negara (SPN) di Seminari Menengah Mertoyudan yang sebelumnya dijadikan Markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR) ketika perang kemerdekaan terjadi.
Adalah Bupati Kudus pada waktu itu, R. Soebarkah, ditunjuk sebagai Direktur Sekolah Polisi Negara (SPN) di Mertoyudan, Jawa Tengah pada 1946 dan Polri tinggal di Seminari Mertoyudan hingga 18 Desember 1948.
SPN itu terdiri dari Sekolah Kader Kepala Bagian Tinggi (Pendidikan Komisaris Polisi) dan Pendidikan Kader Kepala Bagian Menengah.
Gedung Seminari pada waktu itu digunakan untuk Sekolah Tinggi Bagian Menengah dan Tinggi Mertojudan (Sekolah Inspektur Polisi dan Akademi Polisi), Sekolah Komandan Inspestur Polisi (CI) angkatan Pertama, Sekolah Komandan Reserse Polisi (Angkt. I & II) dan Sekolah Agen Polisi.
Dua pekan setelah didirikan SPN, pada tanggal 1 Juli 1946 secara resmi dibentuk POLRI yang pada waktu itu bernama Djawatan Kepolisian Negara. Pada tanggal 1 Juli 1946 inilah, yakni dua pekan setelah dibentuk SPN di Seminari Mertoyudan, POLRI dilahirkan dan tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Bhayangkara.
Sementara menurut Petrus Selestinus, Hoegoeng yang hingga saat ini menjadi patron sebagai anggota polisi ideal adalah siswa angkatan pertama dari SPN tersebut dan kuliah pertama dimulai pada 1 Juli 1946.
Karena merupakan siswa pertama, Hoegoeng ikut terlibat dalam proses pembentukan dan pemantapan di tahun-tahun awal. Bahkan, Hoegoeng pula yang mendesain lambang PTIK.
“Sehingga sebenarnya kita tahu bahwa ada roh, nilai yang dimunculkan di SPN Mertoyudan dan saya kira Polri harus mengambil nilai-nilai luhur itu kembali. Tidak ada suatu yang kebetulan atas perjalanan hidup seseorang,” jelas Petrus Selestinus.