Uji Materi Pencucian Uang Akil Mochtar Ditolak MK
Penuntutan oleh jaksa yang bertugas di KPK akan lebih cepat daripada harus dikirim lagi ke kejaksaan negeri.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diajukan oleh mantan Ketua MK, Akil Mochtar. Akil kini menjadi terpidana kasus ini di KPK.
"Mengadili dan menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Arief Hidayat, saat membacakan amar putusan perkara nomor 77/PUU-XII/2014 di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Kamis (12/2).
Dalam permohonannya, Akil Mochtar menyatakan frasa "patut diduga" atau "patut diduganya" yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) UU 8 Tahun 2010 menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Menurut dia, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Akan tetapi, Mahkamah berpendapat berbeda. Menurut Mahkamah dalam perkara pidana soal terbukti atau tidak terbuktinya, yakin dan tidak yakinnya para hakim yang mengadili suatu perkara semata-mata berdasarkan bukti-bukti di persidangan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat rumusan pasal yang menggunakan frasa "patut diduga", "patut diduganya" atau "patut dapat menyangka". Penerapan pasal-pasal itu dalam peradilan sangat tergantung pada bukti dan keyakinan hakim.
"Hal demikian telah diterapkan sejak dahulu kala oleh pengadilan dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan penegakan hukum terkait dengan hak-hak warga negara. Bukti dan keyakinan hakim merupakan hubungan sebab akibat atau kausalitas. UUD 1945 telah menentukan adanya kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum," kata Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Mengenai tindak pidana pencucian uang yang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya seperti yang tertuang dalam Pasal 69 UU 8/2010, menurut MK, apabila pelaku tindak pidana asalnya meninggal dunia berarti perkaranya menjadi gugur, maka si penerima pencucian uang tidak dapat dituntut sebab harus terlebih dahulu dibuktikan tindak pidana asalnya.
"Adalah suatu ketidakadilan bahwa seseorang yang sudah nyata menerima keuntungan dari TPPU tidak diproses pidana hanya karena tindak pidana asalnya belum dibuktikan lebih dahulu. Rakyat dan masyarakat Indonesia akan mengutuk seseorang yang nyata-nyata telah menerima keuntungan dari tindak pidana pencucian uang lalu lepas dari jeratan hukum hanya karena tindak pidana asalnya belum dibuktikan lebih dahulu," ujarnya.
Sementara, mengenai Pasal 76 ayat (1) UU 8/2010 yakni ketentuan bahwa penuntut umum wajib menyerahkan berkas perkara TPPU kepada Pengadilan Negeri yang menurut Akil hanya penuntut umum pada Kejaksaan RI yang berwenang, menurut Mahkamah, penuntut umum merupakan suatu kesatuan.
Dengan kata lain, penuntut umum pada Kejaksaan dan penuntut umum pada KPK adalah sama. Selain itu, demi peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, penuntutan oleh jaksa yang bertugas di KPK akan lebih cepat daripada harus dikirim lagi ke kejaksaan negeri.
Ada pun, ketentuan Pasal 95 UU 8/2010 yang menurut Akil bukan kewenangan KPK untuk menyidik dan menuntutnya, Mahkamah menyatakan kasus konkret mengenai instansi yang berwenang menyidik dan menuntutnya bukanlah persoalan yang dapat dimohonkan pengujiannya ke MK. Mahkamah menyebut Pasal 95 UU 8/2010 tersebut adalah norma yang dimuat dalam ketentuan peralihan.
"Dengan demikian permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum," imbuh Suhartoyo.
Meski begitu, putusan Mahkamah ini diwarnai perbedaan pendapat (Dissenting Opinion). Adapun yang berbeda dari 9 orang hakim, yakni Hakim Aswanto dan Hakim Maria Farida Indrati. Keduanya menyatakan seharusnya permohonan pemohon dikabulkan.