Pasal Ini Akan Membatasi Anak, Istri, Suami, Mertua, Menantu Jadi Pejabat di Satu Daerah Sama
Di masa depan, politik dinasti akan dibatasi lewat regulasi undang-undang.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM -Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota disahkan dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (17/2).
Salah satu aturan signifikan dalam UU itu adalah upaya untuk membatasi politik kekerabatan atau politik dinasti, seperti ditegaskan dalam Pasal 7 UU tersebut.
Profesor Riset Ilmu Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti R Zuhro, dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, menegaskan, hanya ada tiga perubahan aturan pilkada yang diatur dalam UU perubahan atas UU No 1/ 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
Satu dari tiga perubahan itu adalah pembatasan politik kekerabatan atau politik dinasti. Pembatasan itu diatur dalam Pasal 7 UU Pilkada yang baru. Disebutkan bahwa calon gubernur, calon bupati, dan calon wali kota beserta calon wakil masing-masing tak boleh punya konflik kepentingan dengan petahana.
Konflik kepentingan dimaksud adalah hubungan darah, ikatan perkawinan dan atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan petahana. Artinya, calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah bukan ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu petahana.
”Pasal itu mengunci politik dinasti. Kalau tidak ada pasal itu, daerah menganggap politik dinasti tidak masalah,” tutur Siti.
Perubahan lain adalah syarat pengajuan pasangan calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah. Sepuluh tahun terakhir diatur hanya parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 15 kursi di DPRD atau memperoleh minimal 15 persen suara sah dalam pemilu DPRD yang bisa mengajukan pasangan calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah (UU No 32/2004).
Sementara dalam UU baru pilkada diatur, parpol atau gabungan parpol bisa mengajukan pasangan kandidat jika punya minimal 25 persen kursi DPRD atau memperoleh minimal 30 persen suara dalam pemilu DPRD.
Satu putaran
Begitu pula syarat kemenangan pilkada. UU baru pilkada mengatur pasangan calon kepala daerah yang meraih suara terbanyak langsung ditetapkan sebagai pemenang pilkada.
Sementara sebelumnya dalam UU No 32/2004 diatur, pemenang pilkada adalah pasangan yang meraih lebih dari 50 persen suara sah atau lebih dari 25 persen suara sah. Jika tak ada pasangan kandidat yang meraih suara minimal 25 persen, digelar putaran kedua.
”Satu lagi yang berubah itu, ya, pilkada yang diselenggarakan secara serentak,” katanya.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat Wahidin Halim menegaskan, fraksinya tetap menginginkan pencalonan dan pemilihan kepala daerah tak secara paket. ”Kami tetap menghendaki gubernur, bupati, dan wali kota saja yang dipilih langsung,” ujarnya.
Alasannya, untuk menghindari pecah kongsi antara kepala daerah dan wakilnya. Selama 10 tahun terakhir, 93 persen kepala daerah pecah kongsi dengan wakilnya. Kondisi itu menyebabkan terganggunya penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
”Dari 986 pasangan kepala daerah-wakil kepala daerah, 93 persen pecah kongsi. Realitas itu mengganggu efektivitas pemerintahan dan menghambat pelayanan masyarakat,” tuturnya.
Terkait penanganan sengketa pilkada, Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat mengungkapkan, sikap MK sama seperti putusan Nomor 97/PUU-XI/2013. ”Baca putusan MK. Itu saja yang dipakai. Kalau belum ada lembaga yang ditunjuk, ya, itu masih kewenangan MK untuk menyelesaikannya, sesuai putusan yang lalu,” ujarnya.
Ditanya apakah dengan demikian MK bersedia menangani sengketa, Arief mengatakan, ”Bergantung pada putusan kita. Kalau sesuai dengan putusan kita, ya, kita laksanakan.”
Ia tidak bersedia berkomentar lebih jauh mengenai hal tersebut. Sebab, UU Pilkada (hasil revisi) berpotensi untuk diuji ke MK.
MK dalam putusannya menyatakan, MK tidak berwenang mengadili dan memutus perkara sengketa pilkada. Namun, pada poin 3.14 putusan itu disebutkan, untuk menghindari keragu-raguan, ketidakpastian hukum, dan kevakuman lembaga berwenang dalam menuntaskan perselisihan hasil pilkada karena belum ada UU yang mengatur hal tersebut, penyelesaian perselisihan hasil pilkada tetap kewenangan MK. (NTA/ANA/AMR)