Menkumham Bantah Obral Remisi Kepada Koruptor
Yasonna menjelaskan maksud melakukan revisi terkait peraturan perundangan yang mengatur soal korupsi.
Penulis: Imanuel Nicolas Manafe
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly membantah anggapan bahwa pihaknya mengobral remisi kepada para koruptor.
Yasonna menjelaskan maksud melakukan revisi terkait peraturan perundangan yang mengatur soal korupsi terhadap terpidana korupsi yaitu mengubah mengenai prosedur pemberian remisi, bukan melonggarkan remisi.
"Saya setuju kita ketatkan, tapi ujung prosedurnya itu yang perlu diperbaiki. Ini kan melekatkan pemberian remisi kepada instansi lain yang seharusnya melalui sistem peradilan pidana itu ada di ujung," ujar Yasonna di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Senin (16/3/2015).
Menurut Yasonna, tidak pada kewenangannya permohonan permintaan remisi Terpidana korupsi harus melalui KPK ataupun Kejaksaan.
Pasalnya, kedua institusi penegak hukum tersebut hanya memiliki kewenangan dari tahap penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan.
"Padahal tugas Jaksa, KPK menuntut. Kemudian Hakim mendengar Terdakwa dan penuntut. Setelah didengar hakimlah yang memutus hukuman. Tentu dalam benaknya hitung-hitungan dia tahu, ini pasti ada remisi karena Undang-Undang mengatakan. Jadi sudah selesai disini. Setelah itu masuknya ke instansi lain," kata Yasonna.
Yasonna mengatakan tujuan pihaknya mengajak KPK, Kejaksaan maupun ICW untuk berdiskusi mengenai remisi terhadap terpidana korupsi tersebut yakni untuk menyamakan persepsi mengenai prosedur pemberian remisi.
"Kita buat sepakat, kalau remisi Pidana umum kan sampai hampir 50 persen. Kalau mau kita ketatkan korupsi katakan tidak boleh seorang tindak pidana korupsi ini tidak boleh lebih dari sepertiga dari hukuman misalnya. Atau seperlima atau whatever, itu kita sepakati," tutur Yasonna.