Membelah Parpol, Melemahkan NKRI
Sebab TNI dan Polri, meskipun berjaringan nasional, fungsinya hanya untuk pertahanan dan keamanan
Penulis: Yulis Sulistyawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Setelah era otonomi daerah, pemerintah pusat tidak bisa lagi mengontrol (pemerintah) daerah secara seksama, maka secara sosial-politik, hanya parpol satu-satunya benang merah pengikat politik kebangsaan NKRI.
Sebab TNI dan Polri, meskipun berjaringan nasional, fungsinya hanya untuk pertahanan dan keamanan.
Oleh sebab itu, dalam perspektif politik kebangsaan, memecah-belah parpol merupakan kejahatan politik yang harus dilawan, karena akan berdampak sistemik dan berkepanjangan dalam pelemahan kedaulatan NKRI.
Hal ini disampaikan Sekjen Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) Adhie Massardi kepada wartawan di Jakarta, menanggapi intervensi pemerintah dalam perpecahan di tubuh PPP dan Partai Golkar.
“Joko Widodo sebagai Kepala Negara seharusnya paham fungsi parpol sekarang ini merupakan pengikat utama NKRI. Sehingga tidak membiarkan, apalagi mendorong, Menkum & HAM Yasonna Laoly masuk jauh ke dalam konflik PPP dan Partai Golkar, sehingga membuat perpecahan pandangan politik berubah jadi perpecahan kubu politik yang nyata,” katanya.
Adhie percaya, sesungguhnya setiap parpol memiliki mekanisme sendiri untuk menyelesaikan persoalan internalnya.
Tapi begitu ada intervensi dari luar, persoalan internal berubah menjadi masalah kompleks berdampak politik secara nasional.
Jubir presiden era Gus Dur ini mencontohkan. Intervensi Istana (SBY) dalam konflik internal PKB (2008), antara kubu Gus Dur dan Muhaimin Iskandar, sukses membelah dan mengerdilkan partai kaum Nahdliyin itu.
Akibatnya, sampai detik ini kaum Nahdliyin tetap terbelah. Padahal Nahdliyin merupakan salah satu kekuatan (Islam moderat) penopang NKRI secara spiritual.
Untuk mencegah terus berlanjutnya pelemahan parpol, bersama sejumlah tokoh pergerakan sipil (civil society) seperti Yudi Latif, Margarito Kamis, Bursyah Syarnubi, Marwan Batubara, Hatta Taliwang, Haris Moti, Syahganda, dll, Adhie Massardi menginisiasi terbentuknya “gerakan masyarakat sipil anti-pecah-belah parpol”.
“Ingat, sekarang ini sudah terjadi balkanisasi NKRI. Negeri ini sudah jadi kepingan-kepingan wilayah. Memang tidak secara fisik seperti di Eropa Timur (Uni Sovyet). Tapi secara sosial politik.” kata Adhie.
Selain akibat kebodohan para politisi kita dan otonomi daerah, lanjutnya UU PMA Nomor 25 Tahun 2007 merupakan instrumen canggih balkanisasi NKRI. Karena UU PMA itu membentangkan karpet merah bagi para pemilik modal (asing) untuk beroperasi di daerah-daerah, tanpa perlu rekomendasi pemerintah pusat.
“Memang patut disayangkan rendahnya kualitas politisi nasional kita dalam memahami politik kebangsaan. Sehingga mereka asyik berebut kue-kue kecil, sedang kue besarnya dibiarkan dilahap para pemilik modal (asing). Penguasa berkutat mempertahankan pemerintahan dengan membelah-belah kekuatan parpol oposisi, tanpa memikirkan dampaknya bagi masa depan negara dan bangsa,” ujarnya.
“Makanya kami, gerakan masyarakat sipil anti-pecah-belah parpol, memilih menomersatukan menyelamatkan NKRI dengan landasannya Pancasila, dibandingkan menyelamatkan pemerintahan. Pemerintahan bisa berganti-ganti, tapi NKRI dan Pancasila harus tetap dijaga,” pungkas Adhie Massardi.