Pidato Lengkap Megawati Soekarnoputri di Kongres IV PDIP
Bagi Megawati, politik juga harus bersendikan watak kejujuran.
Penulis: Rachmat Hidayat
Editor: Hasanudin Aco
Saudara-saudara sekalian,
Gagasan revolusi mental pertama kali disampaikan dalam Pidato Kenegaraan Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1957. Beliau saat itu mencanangkan berkibarnya Panji Revolusi Mental.
“Nationbuilding membutuhkan bantuannya Revolusi Mental! Karena itu adakanlah Revolusi Mental! Bangkitlah! Ya, Bangkitlah, bangkit dan geraklah ke arah pemulihan jiwa. Bangkit dan bergeraklah kembali ke cita-cita nasional. Bangkit dan geraklah ke arah kesadaran cita-cita sosial. Bangkit dan geraklah menjadi manusia baru yang bekerja, berjuang, berbakti, berkorban guna membina bangsa dan masyarakat yang sesuai dengan cita-cita nasional dan sosial itu, yakni cita-cita Proklamasi. Buanglah segala kemalasan, buang segala ego sentrisme, buang segala ketamakan. Jadilah manusia Indonesia, manusia Pembina, manusia yang sampai ke tulang sumsumnya bersemboyan satu buat semua, semua buat pelaksanaan satu cita-cita.”
Bagi Bung Karno, Revolusi Mental adalah arah dalam sebuah “Gerakan Hidup Baru”. Gerakan Hidup Baru bukan hanya dalam hal fisik seperti hidup sederhana. Namun yang lebih penting adalah kesederhanaan bagi pemimpin. Kesederhanaan seorang pemimpin adalah kesederhanaan seorang pejuang yang jiwanya berkobar menyala-nyala, penuh daya cipta, bergelora laksana samudra, dan suatu jiwa anti kebekuan yang laksana terbuat dari gledek dan guntur.
Gerakan Hidup Baru membutuhkan Revolusi Mental. Isi Revolusi Mental sangatlah dalam. Revolusi Mental adalah tentang cara berpikir, cara kerja, dan cara hidup yang lebih baik. Yang merintangi kemajuan wajib disingkirkan. Revolusi Mental harus meliputi seluruh masyarakat, namun tidak akan berlangsung tanpa organisasi, tanpa pimpinan, tanpa gerakan. Revolusi Mental memerlukan Pemimpin yang harus melakukan revolusi mental untuk dirinya terlebih dahulu. Revolusi mental Pemimpin haruslah menggelorakan Gerakan Hidup Baru.
Saudara-saudara sekalian,
Dengan revolusi mental tersebut, maka kita bangun Indonesia dari “apa yang dilihat dan dirasakan rakyat”. Rakyat yang termanifestasikan dalam wajah petani, guru, nelayan, kaum miskin kota, buruh, atau pendeknya rakyat yang masih terjerat dalam “lingkaran setan kemiskinan”, yakni rakyat wong cilik. Merekalah dasar keberpihakan kita. Rakyatlah sumber dari segala sumber ideologi Partai. Di sinilah ideologi berperan sebagai daya hidup dan keyakinan Partai. Atas dasar keyakinan ideologi pula, PDI Perjuangan berani menempuh jalan terjal di luar pemerintahan selama satu dasawarsa terakhir. Rakyat memberi tempat atas pilihan politik PDI Perjuangan tersebut. Kini dapat dipahami, bahwa posisi politik tersebut adalah tugas nasional yang tidak kalah penting, untuk sehatnya demokrasi.
Demikian halnya, ketika atas kehendak rakyat, PDI Perjuangan berada di dalam pemerintahan. Dengan pengalaman panjang ketika berada di luar pemerintahan, satu hal yang membuat kita bertahan adalah ideologi Pancasila 1 Juni 1945. Ia bertindak sebagai leidstar atau bintang pengarah ketika Partai menghadapi berbagai kesulitan. Bahkan, Partai mampu mensenyawakan idelogi dan rakyat agar berurat-berakar dalam saripatinya rakyat. Atas dasar kesatuan ideologi dan rakyat, maka Partai melakukanre-tooling, mengganti perkakas yang lama, dengan yang baru. Itulah nature yang tidak bisa dihindari.
Saudara-saudara se bangsa dan setanah air,
Berbagai dinamika pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Pemilu secara langsung membawa konsekuensi pengerahan tim kampanye, relawan, dan berbagai kelompok kepentingan, dengan mobilisasi sumber daya. Kesemuanya wajar ketika diabdikan untuk pemimpin terbaik bangsa. Namun praktek yang berlawanan kerap terjadi. Mobilisasi kekuatan tim kampanye sangatlah rentan ditumpangi kepentingan. Kepentingan yang menjadi “penumpang gelap” untuk menguasai sumber daya alam bangsa. Kepentingan yang semula hadir dalam wajah kerakyatan, mendadak berubah menjadi hasrat kekuasaan.
Inilah sisi gelap kekuasaan saudara-saudara. Guna mencegah hal tersebut, saya menyerukan agar Indonesia harus benar-benar tangguh di dalam melakukan negosiasi kontrak migas dan tambang, yang sebentar lagi banyak yang akan berakhir. Kini saatnya, dengan kepemimpinan nasional yang baru, Kontrak Merah Putih ditegakkan. Demikian pula, Badan Usaha Milik Negara harus diperkuat, dan menjadi pilihan utama kebijakan politik ekonomi berdikari.
Saudara-saudara,
Hal lain yang perlu saya sampaikan disini adalah sikap politik PDI Perjuangan sebagai partai pengusung pemerintahan Bapak Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Kesadaran awal ketika saya memberikan mandat kepada Bapak Jokowi, adalah komitmen ideologis yang berpangkal dari kepemimpinan Trisakti. Suatu komitmen untuk menjalankan pemerintahan negara yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian. Konsepsi ini adalah jawaban atas realitas Indonesia yang begitu bergantung dengan bangsa lain. Konsepsi Trisakti inilah yang menjadi kepentingan utama Partai.
Pekerjaan rumah yang lainnya adalah bagaimana mengatur mekanisme kerja antara Pemerintah dan Partai Politik pengusungnya. Hal ini penting, mengingat hubungan keduanya adalah kehendak dan prinsip dalam demokrasi itu sendiri. Landasan konstitusionalnyapun sangat jelas. UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, mengamanatkan bahwa presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Itulah mekanisme konstitusional yang kita kenal. Hukum demokrasilah yang mengatur itu, bahwa presiden dan wakil presiden memang sudah sewajarnya menjalankan garis kebijakan politik Partai. Untuk itulah, mengapa kebijakan partai menyatu dengan kehendak rakyat, dan mengapa Partai harus mengorganisir rakyat sehingga suara-suara yang tersembunyi sekalipun dapat disuarakan Partai. Prinsip demokrasi inilah yang saya jalankan. Penjelasan ini sangat relevan, mengingat ada sementara pihak, dengan mengatasnamakan independensi, selalu mengatakan bahwa Partai adalah beban demokrasi.
Saya tidak menutup mata terhadap berbagai kelemahan Partai Politik. Disinilah kritik dan otokritik kami jalankan.Namun, mengatakan bahwa Partai hanya sebagai ornament demokrasi; dan hanya sekedar alat tunggangan kekuasaan politik, sama saja mengerdilkan makna dan arti kolektivitas Partai yang berasal dari rakyat. Fenomena ini nampak jelas, ketika pada saat bersamaan muncullah gerakan deparpolisasi. Sentimen anti partai pun, makin lantang diteriakkan dalam kerumunan liberalisasi politik. Saya yakin bahwa proses deparpolisasi ini tidak berdiri sendiri. Disana, ada simbiosis kekuatananti Partaidan kekuatan modal, yang berhadapan dengan gerakan berdikari. Mereka adalah kaum oportunis. Mereka tidak mau berkerja kerasmembangun Partai. Mereka tidak mau mengorganisir rakyat, kecuali menunggu, menunggu, dan selanjutnya menyalip di tikungan saudara-saudara. Karena itulah kembali saya tegaskan, bahwa jalan ideologi adalah pilihan benar. Jalan ideologi yang membentang terjal dihadapan kita, adalah jalan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Inilah prinsip konstitusionalismeyang selalu jadi rujukan kita saudara-saudara.
Atas dasar konstitusi pula, saya berulang kali menyampaikan kepada Presiden, pegang teguhlah konsitusi itu. Berpijaklah pada konsitusi karena itulah jalan kenegaraan. Penuhilah janji kampanye-mu, sebab itulah ikatan suci dengan rakyat.
Dalam kaitannya dengan tugas konstitusi pula, PDI Perjuangan mengingatkan kembali terhadap tugas pemimpin nasional untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Perlindungan itu termasuk mencegah berbagai kampanye gerakan terorisme yang tidak hanya bersifat radikal, namun sudah mengobarkan perang terhadap kemanusiaan.