Inilah Jadwal Mary Jane Beri Kesaksian Untuk Pengadilan Filipina Via Video Conference
Inilah jadwal Mary Jane diharuskan memberi kesaksikan via video conference untuk pengadilan Filipina soal kasus perdagangan manusia.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Terpidana mati kasus narkoba asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso, yang batal dieksekusi pada Rabu (29/4) dini hari, akan dimintai kesaksiannya untuk pembuktian kasusnya oleh pengadilan di Filipina.
Kesaksian Mary Jane dijadwalkan didengar pada 8 Mei dan 14 Mei 2015.
Kesaksian tersebut, menurut Jaksa Agung HM Prasetyo, akan disampaikan melalui konferensi video karena Kejagung tak mengizinkan yang bersangkutan dibawa ke Filipina. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
"Mereka menginginkan yang bersangkutan hadir di sana. Kami sudah menyatakan hal itu tidak mungkin dilakukan. Alternatifnya video conference. Kami berikan kesempatan ini sesuai jalur mutual legal assistance," kata Prasetyo, Kamis.
Ia pun menegaskan, proses hukum yang berjalan di Filipina tidak begitu saja menangguhkan putusan pidana mati Mary Jane. "Ini hanya penundaan eksekusi, bukan putusannya. Status yang bersangkutan tetap terpidana. Jika nanti ada hasil dari proses hukum di sana dan bisa dijadikan novum, harus melalui sistem peradilan lagi," ujar Prasetyo.
Hal ini dibenarkan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana. Proses hukum di Filipina dengan putusan mati yang diterima Mary Jane berbeda kasus. Dengan demikian, jika terbukti Mary Jane korban perdagangan manusia, bukan berarti vonis matinya langsung gugur seketika.
"Itu bisa jadi novum dan diajukan pada peninjauan kembali. Tapi, apakah akan meringankan hukumannya atau tidak, itu terserah hakim," ujar Hikmahanto.
Terkait permintaan otoritas Filipina untuk menghadirkan Mary Jane di sana, Hikmahanto menilai keputusan Kejagung tepat untuk tidak mengirim yang bersangkutan ke Filipina. Menurut dia, hal itu pernah dialami Pemerintah RI ketika hendak meminta kesaksian Hambali terkait kasus terorisme. Saat itu, Hambali berada di Amerika Serikat dan tidak diizinkan datang ke Indonesia untuk bersaksi.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Tony Tribagus Spontana menambahkan, pekan depan Kejaksaan Agung akan mengevaluasi proses eksekusi mati tahap kedua era Jaksa Agung HM Prasetyo.
"Kami lakukan evaluasi terlebih dahulu. Setelah itu, kita akan beralih apakah akan dilakukan eksekusi tahap ketiga. Kemudian, tentukan kapan waktunya dan siapa yang akan dieksekusi," kata Tony, Kamis.
Desak moratorium
Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resources Center Uli Parulian Sihombing, Jumat (1/5), di Jakarta, menyarankan pemerintah melakukan moratorium hukuman mati. Moratorium dibutuhkan untuk memberikan kesempatan evaluasi terhadap efektivitas hukuman mati setelah timbul pro-kontra.
"Presiden dapat meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk meneliti efektivitas hukuman mati guna mengurangi kejahatan. Tanpa penelitian, sulit untuk mengetahui pasti efek dari hukuman mati dan apakah ada alternatif lain," kata Uli Parulian.
Menurut Uli, proses penelitian itu jelas lebih adil dan terukur. "Jika rekomendasinya menghapus hukuman mati, pemerintah harus menghapus aturan itu, termasuk di dalam KUHP," ujarnya. Revisi terhadap KUHP, menurut Uli, bisa langsung dikerjakan.
(FAJ/RYO/IAN)