Eks Kaster TNI Minta Presiden Kendalikan Polisi
Sebaliknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga jangan arogan dan besar kepala.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) pekan lalu (1/5) memerintahkan kepolisian untuk tidak menahan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Tidak lupa pula, Presiden Jokowi menyebut nama wakapolri Budi Gunawan agar tidak menimbulkan kontroversi di kepolisian. Namun kepolisian dan sejumlah pihak, termasuk politisi dari PDI Perjuangan, tercatat menjawab perintah Presiden tersebut sebagai bentuk intervensi Presiden kepada aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian.
Meskipun akhirnya polisi melepaskan Novel, penolakan perintah presiden kepada kepolisian dengan alasan melakukan intervensi masih menjadi topik bahasan di tengah masyarakat. Benarkah presiden tidak boleh melalukan intervensi kepada kepolisian? Masalah ini juga memancing mantan Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI Letjen Purnawiran Agus Widjojo untuk ikut berpendapat.
Mantan Wakil Ketua MPR (2001-2003) yang kini menjadi senior fellow di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta dan Visiting Fellow Senior di Institut Pertahanan dan Studi Strategis di Singapura ini berpendapat, perintah presiden kepada kepolisian adalah sah karena perintah itu bagian dari wewenang presiden sebagai kepala pemerintahan. Perintah Presiden kepada kepolisian dalam kasus Novel Baswedan pekan lalu sama halnya perintah presiden kepada kejaksaan dan TNI.
Demi mencegah terjadi kontroversi lagi di kemudian hari, Agus meminta presiden membentuk otoritas yang bisa mengendalikan kepolisian. Otoritas baru ini akan menangani kebijakan presiden terhadap polri, dipimpin oleh seorang menteri. "Bisa saja namanya Menteri Keamanan Dalam Negeri," kata Agus.
Berikut pendapat Agus Widjojo seperti disampaikan kepada KONTAN, akhir pekan lalu (2/5/2015):
Kondisi politik sekarang (KPK, Polri, dan Presiden, dan partai -redaksi) merupakan akumulasi dari tidak terpenuhinya pemahaman atas sistem politik, demokrasi, dan operasional pemerintahan setiap hari (the running of day to day of the government). Saya khawatir ini masalah karakter dan kepribadian (personality) para aktor. This is worrying.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa merajalela karena diberi peluang oleh PDIP, partai pemenang pemilu yang tidak dapat mengkonsolidasikan kemenangannya. Sedangkan Presiden Jokowi sebagai pembawa ideologi PDIP tergoda dengan winning by his own right dan mau memerintah sendiri dengan relawannya. Kondisi politik Indonesia sekarang ini semua terjadi by default rather than by design.
Sebetulnya fungsi presiden sebagai kepala Negara sangat kecil. Kebanyakan protokol kenegaraan. Sebagian besar pelaksanaan fungsi presiden adalah sebagai kepala pemerintahan. Inilah fungsi presiden yang sering dilakukan setiap hari. Namanya juga roda pemerintahan, jadi peran presiden yang diperlukan untuk menjalankan pemerintahan adalah sebagai kepala pemerintahan.
Perbandingannya begini: dalam monarki konstitusional, pemerintahan dijalankan oleh perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Raja sebagai kepala negara. Kerjanya menerima surat kepercayaan duta besar negara lain. Sebagai kepala Negara presiden lebih sebagai figur. Fungsi yang diperebutkan sebenarnya adalah sebagai kepala pemerintahan.
Polisi adalah bagian dari kekuasaan eksekutif di bawah seorang menteri dan di bawah kekuasaan pimpinan eksekutif, yaitu Presiden. Benar sekali harus ada otoritas politik yang mengendalikan polisi karena polisi tidak bersifat independen. Polisi bukan kekuasaan judikatif. Kewenangan yang bisa menertibkan polisi sudah jelas, yaitu Presiden.
Itulah sebabnya perlu ada menteri political appointee yang menjadi kepercayaan Presiden dalam menangani kebijakan Presiden tentang Polri. Otoritas itu bisa dipimpin oleh Menteri Keamanan Dalam Negeri. Dengan begini, Polri bukan badan independen yang tidak bisa disentuh. Jangan begitu dong. Itu namanya merusak negara. Apa tega sih? Tidak ada polisi menjadi negara dalam Negara dan bertindak sesuka hati atas penafsiran sendiri.
Fungsi polisi adalah aspek penyidikan dari penegakan hukum. Polri itu seperti jaksa. Polri dan jaksa adalah cabang kekuasaan eksekutif, berarti adalah anak buah Presiden. Sebab fungsi penegakan hukum adalah fungsi pemerintahan. Bukankah Surat Penghentian Penyidikan (SP3) merupakan kewenangan pemerintah? Polri tidak independen mutlak. Ketika polri melakukan penyidikan, dia melakukan atas nama pemerintah untuk diserahkan kepada pengadilan. Nah baru hakim yang hanya punya tanggungjawab kepada Tuhan, tidak boleh dicampuri manusia. Hakim berada dalam domain judikatif yang tidak boleh dicampuri Presiden sekalipun. Tapi kalau polisi, lha wong dia anak buah Presiden, ya harus patuh kepada Presiden. Yang melantik Kapolri saja Presiden? Masa bisa mbalelo?
Polisi memang punya diskresi menegakkan hukum. Individu polisi di perempatan jalan bisa menjadi perpanjangan tangan hukum dan menindak pengemudi yang tidak dilengkapi SIM. TNI tidak punya kewenangan individu seperti polisi untuk menafsirkan hukum.
Kalau ada perbedaan tafsir antara presiden, polisi dan aktor-aktor politisi dan pejabat negara, then something must be something wrong. Kalau ada perbedaan, mestinya sih polisi tidak bisa menang atas Presiden. Malah menjadi tugas dan tanggungjawab polri agar Presiden menjadi 'orang yang paling pintar’ tentang hukum di Republik ini.
Sebaliknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga jangan arogan dan besar kepala. Pimpinan KPK bisa menahan diri dan tahan dari godaan politik agar KPK independen dan benar-benar non partisan. Birahi politik orang Indonesia dikenal tinggi sekali sehingga godaan politik ini menjadi ujian penting bagi pimpinan KPK.
Dari sisi presiden, dia harus cepat bertindak terhadap sesuatu yang tidak disukai rakyat. Make it clear. Ini bisa membangun modal politik bagi presiden untuk menopang kewenangannya. Saya tidak tahu apakah pemerintah punya pilihan kebijakan jelas yang harus diimplementasikan oleh jajaran eksekutif, khususnya di bidang hukum bagi kepolisian, kejaksaan agung, dan KPK? Jadi presiden bukan sekadar bertindak sebagai pemadam kebakaran atau melerai pertikaian.