Reformasi 1998 'Dirampok' Partai Politik
Reformasi yang melanda pada 1998, sempat dinilai sebagai pintu gerbang menuju Indonesia baru, yang bisa memberikan keadilan dan kesejahteraan
Laporan Wartawan Tribunnews.com Reza Gunadha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Reformasi yang melanda pada 1998, sempat dinilai sebagai pintu gerbang menuju Indonesia baru, yang bisa memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Namun, selang 17 tahun setelahnya, seiring surutnya gelombang pasang reformasi, keyakinan seperti itu turut terkikis.
Kehidupan banyak warga yang tak beranjak dari titik nadir kesejahteraan, pedang keadilan yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, merebaknya korupsi, serta berbagai "akrobat" para politikus yang entah di mana saat geliat reformasi, turut menyurutkan keyakinan masyarakat terhadap "janji manis" reformasi.
Eksponen gerakan mahasiswa '98, Abdullah Taruna, saat livechat di Newsroom Tribun di Jakarta, Kamis (21/5/2015), menilai silang sengkarut pascareformasi tersebut disebabkan dua aspek penting.
Pertama, aktivis yang menjadi penggerak reformasi sendiri tampak tak peduli atas kelanjutan perjuangannya seusai Presiden RI Soeharto jatuh.
Kedua, sebagai konsekuensi ketidakpedulian tersebut, arah kebijakan publik diambilalih atau "dirampok" partai politik yang bermunculan bak cendawan di musim penghujan setelah Soeharto lengser keprabon.
"Itu bisa jadi benar bila kami semua tidak peduli, tapi situasi pasca turunnya Soeharto secara formal telah diambil alih oleh partai politik," tutur Abdullah, yang tercatat sebagai pendiri dua organisasi legendaris era 1998, Forum kota (Forkot) dan Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred).
"Kendali jelas di tangan mereka...hanya sedikit di antara mereka yang komitmen dengan gerakan reformasi," tukas Abdullah Taruna yang kini menjabat Ketua Lembaga Studi Indonesia Damai (LSID).
Alhasil, kata Abdullah, satu-satunya buah reformasi yang memuaskan masyarakat Indonesia adalah kebebasan berbicara. Saat orde baru berkuasa, kebebasan berbicara merupakan barang mewah. "Satu-satunya yang berhasil memuaskan adalah kebebasan bicara yang tidak pernah dirasakan oleh genernasi kami. Sebelum 17 tahun lalu, betul betul kebebasan bicara pada saat itu barang mewah," terangnya.
Menurutnya, tujuan Reformasi 1998 adalah melakukan perubahan total. Pertama, menurunkan Soeharto dari jabatan sebagai presiden saat itu. Kedua, melakukan perubahan sistem pendidikan, hukum, ekonomi dan kebudayaan, terutama sistem politik.
"Sistem pendidikan kita saat ini sudah banyak perubahan. Untuk hukum masih belum menyentuh rasa keadilan masyarakat, hanya hukum positif an sich. Ekonomi kita juga masih menunjukkan kesenjangan yang sangat tinggi antara si miskin dan kaya. Budaya konsumtif," ungkapnya.