Mantan Ketua Fraksi PAN Menduga Faisal Basri Ingin Indonesia Jadi Bangsa Kuli
Anggota Komisi III DPR asal PAN Tjatur Sapto Edy membela mantan Ketua Umum PAN Hatta Rajasa dari tudingan ekonom Faisal Basri.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR asal PAN Tjatur Sapto Edy membela mantan Ketua Umum PAN Hatta Rajasa dari tudingan ekonom Faisal Basri. Tjatur menduga ada peran tertentu yang sedang dimainkan Faisal Basri.
"Dugaan saya beliau ini sedang memainkan satu peran. Saya susah bicaranya karena bagaimanapun beliau saudara kami, tapi Insya Allah kita sangat paham," kata Tjatur ketika dikonfirmasi wartawan, Kamis (28/5/2015).
Peran yang dimainkan Faisal agar Indonesia menjadi bangsa kuli dengan menjual mineral mentah. Mantan Ketua Fraksi PAN itu menduga hal tersebut dikarenakan dalam waktu berdekatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said juga mengeluarkan pernyataan yang menyerang Pesiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dimana Sudirman menyebut kasus mafia migas berhenti di meja presiden.
"Ada oknum pemerintah sekarang yang mencoba melanggar Undang-undang no. 4 tahun 2009, dan ada upaya pihak tertentu agar kita kembali menjadi bangsa kuli yang hanya menjual ciptaan Tuhan," katanya.
Diketahui, Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Di Dalam Negeri sudah sesuai dengan amanah UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara khususnya pasal 102, 103 dan 170.
Tjatur menuturkan setiap perusahaan pertambangan yang telah memiliki izin usaha pertambangan (IUP) atau IUP khusus yang sudah beroperasi wajib melakukan pemurnian hasil pertambangannya di dalam negeri. Selain itu, para perusahaan kontrak karya juga diberi kewajiban untuk membangun tempat pemurnian atau smelter selambat-lambatnya lima tahun setelah UU itu disahkan.
"UU itu disahkan pada 12 Januari 2009, sehingga penerbitan Permen ESDM tersebut sudah sesuai dengan amanah UU karena diterbitkan selambat-lambatnya pada 12 Januari 2014. Kalau Pemerintah tidak menerbitkan permen itu, itu artinya beliau melanggar amanah UU dan itu berdampak Presiden bisa diimpeach," tuturnya.
Menurut Tjatur, dalam jangka pendek memang penerapan UU dan Permen tersebut berdampak pada pengurangan devisa yang masuk. Pasalnya, belum semua perusahaan pertambangan yang siap dan telah memiliki smelter. Meski demikian negara juga tidak mengalami kerugian. Hal itu disebabkan, barang hasil tambang perusahaan itu masih utuh dan tidak bisa dibawa keluar.
Tjatur mengatakan, penerapan regulasi ini juga tak sedikit mendapat penolakan. Bahkan, penolakan itu sudah terjadi sejak UU itu dibahas pada 2009 lalu antara pemerintah dengan DPR.
"Memang kebijakan ini bagi orang-orang neolib, para pemburu rente, dan penghamba Washington Consensus adalah kebijakan yang tidak populer. Negara-negara besar tidak suka melihat Indonesia menjadi negara besar, karena kebijakan ini merupakan kebijakan yang cenderung protection nationalism," tandasnya.
Sebelumnya, Pengamat ekonomi Faisal Basri menyebut mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, sebagai biang keladi kekacauan industri bauksit nasional saat ini. Bahkan, Faisal menilai apa yang dilakukan Hatta saat menjabat sebagai menteri ada kaitannya dengan langkah dia untuk maju dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 lalu.
"Hatta Rajasa biang keladinya. Ini tunjuk nama aja deh biar semua jelas," ujar Faisal Basri dalam acara Kompasiana Seminar Nasional bertema "Kondisi Terkini, Harapan dan Tantangan di Masa Depan Industri Pertambangan Bauksit dan Smelter Alumina Indonesia" di Jakarta, Senin (25/5/2015).
Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas itu menjelaskan, pada awal 2014 lalu, peranan Hatta Radjasa melarang ekspor mineral mentah (raw material) termasuk bauksit sangat besar. Kata Faisal, berbagai pembahasan aturan pelarangan ekspor bauksit dibahas di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian dengan berbagai menteri terkait.
Akhirnya, Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 terbit pada tanggal 12 Januari 2014.
Faisal menilai, aturan itu membuat industri bauksit nasional hancur lantaran semua perusahaan bauksit tak lagi diperbolehkan mengekspor bauksit yang merupakan bahan mentah pembuatan aluminium.